Minggu, 30 April 2017

Pancasila dalam Etika Politik - PKN

PANCASILA DALAM ETIKA POLITIK


PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
          Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung di dalamnya suatu pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.Oleh karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasa yang bersifat fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam masyarakat, bangsa ataupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman.
Norma-norma tersebut meliputi (1) norma moral yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut baik maupun buruk. Sopan ataupun santun, susila ataupun tidak susila.Dalam kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) norma hukum yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di negara Indonesia.Sebagai sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang sejak dahulu telah merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara. Atas dasar pengertian inilah maka nilai-nilai Pancasila senbenarnya berasal dari bangsa Indonesia sendiri atau dengan kata lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal-mula materi (kausa materialis) nilai-nilai Pancasila.

B. Rumusah Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai berikut :
a.       Apa pengertian etika ?
b.      Apa prinsip etika politik ?
c.      Apa nilai – nilai Pancasila sebagai sumber etika politik ?

C. Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini bersadarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
a.       Untuk mengetahui pengertian etika.
b.      Untuk mengetahui dan memahami prinsip – prinsip dasar etika politik pancasila.
c.       Untuk mengetahui dan memahami nilai – nilai Pancasila sebagai sumber etika politik.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya masing-masing.Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya hakikat manusia, alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang apa yang kita ketahui dan lain sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritispun juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat praktis, karena pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus.Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan moral.Etika adalah suatu ilmuyang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita menikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Sebenarnya etika lebih banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).Dapat juga dikatakan bahwa etika berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku.

B. Pancasila dalam etika politik
Etika adalah kelompok filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik berasal dari kata“Politics”, yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan.
Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya.Filsafat politik adalah seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme dan demokrasi.
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai pelaku etika yaitu manusia.Oleh karena itu, etika politik berkaitan eratdengan bidang pembahasan moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika.Maka kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yangdimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia, walaupun dalam hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun negara etika politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai manusia.Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yangberadab dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsamaupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil.Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada.Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara.Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan:
1.      Legitimasi hukum
2.      Legitimasi demokratis
3.      Legitimasi moral

C. Prinsip Dasar Etika Politik.
Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, karena pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan – tuntutan dasar etika politik modern.
1.      Pluralisme
Pluralisme adalah kesedian untuk menerima pluraltas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toletan, dan biasa normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme mengiplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2.      Hak Asasi Manusia
Jaminan hak – hak asasi manusia adalah bukti kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak – hak asasi manusia meyatakan bagaimana manusia wajib diperlukan dan wajib tidak diperlukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak – hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a.       Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian negara, masyarakat, melainkan karena pemberian sang pencipta.
b.      Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang moderenitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam oleh negara.
3.      Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi rang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabilaa tidak hanya bagi diri sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia – manusia lain.
Maka disini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing – masing.
4.      Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa pemimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi, demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.

Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM : perlindungan menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
1.      Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hokum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi pemerintah yang sewanang – wenang.
5.      Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide – ide, ideologi – ideologi, agama – agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosiolisme. Keadilan sosial adalah membongkar ketidakadilan yang ada dalam masyarakat.

Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah :
1.      Kemskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial
2.      Ekstrimisme, ideologis yang anti pluralisme, pertama tama ekstrimisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3.      Korupsi.

F. Pengertian Politik
Pengertian ‘Politik’ berasal dari kosa kata ‘Politics’, yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau ‘negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. ‘Pengambilan keputusan’ atau ‘dicisionmaking’ mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public polities, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu, diperlukan suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (ceorcion). Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan rumusan keinginan belaka (statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals).Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai politik lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Berdasarkan pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state), kekuasaan (power), pengambilan keputusan (dectsionmaking), kebijaksanaan (policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).
Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik secara sempit sebagaimana diuraikan di atas, maka seolah-olah bidang politik lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara, lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Bilamana lingkup pengertian politik dipahami seperti itu maka terdapat suatu kemungkinan akan terjadi ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam hubungan dengan etika politik pengertian politik tersebut harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat negara.

G. Nilai – nilai Pancasila sebagai Sumber Etika Politk
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila I ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius.Kekuasaan kepala negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi.Oleh karena itu asas sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral.Hal inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara teokrasi.Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan negara.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan negara.Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat manusia cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila III).Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat fundamental dalam kehidupan negara.Manusia adalah merupakan dasar kehidupan serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.Oleh karena itu asas-asas kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum.Dalam kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia.Selain itu asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dang dijalankan secara demokratis (legatimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral) (lihat Suseno,1987:115). Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II).Hal ini ditegaskan oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus ke dalam machtsstaats atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’.Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama (keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara.Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaraan atas prinsip-prinsip keadilan dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila IV).Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan , kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan, pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legimitasi dari rakyat, atau dengan lain perkataan harus memiliki ‘legimitasi demokratis’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri, ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain berdasarkan hukum yang berlaku (legimitasi hukum), harus mendapat legitimasi rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip moralitas (legitimasi moral). Misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif dasar Listrik, Taris Telepon, kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus didasarkan atas tiga prinsip-prinsip tersebut.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dang penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu kebijaksanaan itu sesuai dengna hukum belum tentu sesuai dengan moral.Misalnya gaji para Pejabat dan anggot DPR, MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi moral).

A.    Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli
1.      Pengertian Bahasa menurut (Depdiknas, 2005:3) Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran dan perasaan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
2.      Pengertian Bahasa menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009:126) bahasa merupakan struktur dan makna yang bebas dari penggunaannya, sebagai tanda yang menyimpulkan suatu tujuan.
3.      Sedangkan bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002:88) bahasa berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang atau anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun yang baik.
4.      Kesimpulan Pengertian Bahasa Menurut Para Ahli
Berdasarkan beberapa pengertian bahasa tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian bahasa adalah sistem yang teratur berupa lambang-lambang bunyi yang digunakan untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran bahasa tersebut.
Dari pengertian bahasa tersebut, hal ini menonjolkan beberapa segi, sebagai berikut :
a.       Bahasa adalah sistem. Maksudnya bahasa itu tunduk kepada kaidah-kaidah tertentu baik fonetik, fonemik dan gramatik. Dengan kata lain bahasa itu tidak bebas tetapi terikat kepada kaidah-kaidah tertentu.
b.      Sistem bahasa itu sukarela (arbitrary). Sistem berlaku secara umum, dan bahasa merupakan peraturan yang mendasar. Sebagai contoh : ada beberapa bahasa yang memulai kalimat dengan kata benda seperti bahasa inggris, dan ada bahasa yang mengawali kalimatnya dengan kata kerja. Dan seseorang tidak dapat menolak aturan-aturan tersebut baik yang pertama maupun yang kedua. Jadi tidak tunduk kepada satu dialek tertentu.
c.       Bahasa itu pada dasarnya adalah bunyi, dan manusia sudah menggunakan bahasa lisan sebelum bahasa lisan seperti halnya anak belajar berbicara sebelum belajar menulis. Di dunia banyak orang yang berbahasa lisan, tetapi tidak dapat menuliskannya. Jadi bahasa itu pada dasarnya adalah bahasa lisan (berbicara), adapun menulis adalah bentuk bahasa kedua. Dengan kata lain bahasa itu adalah ucapan dan tulisan itu merupakan lambang bahasa.
d.      Bahasa itu simbol. Bahasa itu merupakan simbol-simbol tertentu. Misalnya kata “rumah” menggambarkan hakikat sebuah rumah. Jadi bahasa itu adalah lambang-lambang tertentu. Pendengar atau pembaca meletakkan simbol-simbol atau lambang-lambang tersebut secara proporsional.
e.       Fungsi bahasa adalah mengespresikan pikiran dan perasaan. Jadi tidak hanya mengkespresikan perasaan saja. Peranan bahasa terlihat jelas dalam mengespresikan estetika, rasa sedih senang dalam interaksi sosial. Dalam hal ini mereka mengeskpresikan perasaan dan buah pikiran. Karena itu bahasa itu mempunyai peranan sosial, emosional disamping berperan untuk       mengemukakan ide.

B.     Fungsi Bahasa Menurut Para Ahli
1.      Del Hymes dan Guy Cook
Bahwa bahasa berfungsi sebagai :
-          Kontekstual (situasi)
-          Referensial (pesan)
-          Emotif (penutur)
-          Konatif / Direktif (mitra tutur)
-          Fatis (jalur)
-          Puitis (bentuk pesan)
-          Metalinguistik (aspek bahasa)

2.      NEWMARK (Dengan menggunakan teori BUHLER dan JACOBSON)
Menggolongkan fungsi bahasa menjadi :
-          Fungsi Ekspresif
-          Fungsi Informatif
-          Fungsi Vokatif
-          Fungsi Estetik
-          Fungsi Fatis
-          Fungsi Metalingual

3.      Ernawati W
Fungsi bahasa terdiri dari beberapa fungsi sebagai berikut :
-          Fungsi pemersatu
-          Sebagai pemberi kekhasan
-          Sebagai pembawa kewibawaan
-          Sebagai kerangka acuan

4.      Kneller
Bahwa bahasa memiliki 3 (tiga) fungsi :
-          Simbolik
-          Emoti
-          Afektif

5.      Halliday
Bahwa bahasa memiliki fungsi sebagai :
-          Fungsi instrumental
-          Fungsi regulatoris
-          Fungsi interaksional
-          Fungsi personal
-          Fungsi heuristik
-          Fungsi imajinatif
-          Fungsi representasional

C.    Konsep  Bahasa
Hakikat bahasa yang pertama berhubungan dengan wujud bahasa dan kedua yang berkaitan dengan fungsi bahasa. Dilihat dari wujudnya, bahasa adalah sistem lambang bunyi atau sistem sibmbol lisan yang bersifat arbriter. Dilihat dari fungsinya, bahasa adalah sebagai identitas bangsa, sebagai bahasa persatuan Republik Indonesia, sebagai bahasa nasional, sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara Republik Indonesia, sebagai alat komunikasi bangsa Indonesia, dan sebagai alat pengembangan kebudayaan bangsa.
Hakikat bangsa adalah suatu konsep yang mendasar tentang bahasa, ada banyak makna dari hakikat bahasa seperti :
1.      Bahasa adalah bunyi
Menurut Kridaklaksana (1983:27) bunyi adalah pesan dari pusat saraf sebagai akibat dari gendang telinga yang bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Oleh karena itu banyak ahli menyatakan bahwa yang disebut bahasa itu adalah yang sifatnya primer.
Contoh : bunyi teriakan, bersin, batu, dan lain-lain.
2.      Bahasa itu bermakna
Bahasa sebagai suatu hal yang bermakna dan berkaitan erat dengan sistem lambang bunyi.
Contoh : kuda = berkaki empat, binatang peliharaan sebagai alat transportasi.
3.      Bahasa adalah lambang
Bahasa sebagai lambang artinya memiliki simbol untuk menyampaikan pesan kepada lawan tutur. Bahasa berfungsi  untuk menegaskan bahasa yang hendak disampaikan.
Contoh : bendera merah putih,
               merah = berani, putih = suci
4.      Bahasa itu bersistem
Sebagai sebuah sistem, bahasa memiliki konsep sistematis dan sistemik. Sistematis dapat diartikan bahwa bahasa itu tersusun menurut suatu pola yang selalu berkaitan, tidak tersusun acak. Sistemik maksudnya bahasa itu bukan merupakan sistem tunggal, tetapi juga terdiri atas sub-sub sistem atau sistem bawahan. Dengan demikian, sebagai sebuah sistem, bahasa berfungsi untuk memilah kajian morfologi, fonologi, sintaksi, dan semantik.
5.      Bahasa itu arbitrer
Arbitrer dapat diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, mana suka. Arbitrer diartikan pula dengan tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Hal ini berfungsi untuk memudahkan orang dalam melakukan tindakan kebahasaan.
Contoh : kuda yang disebut oleh orang.
6.      Bahasa itu konvensional
Bahasa merupakan hasil kesepakatan bersama. Hal inilah yang kemudian memunculkan aturan-aturan dalam ketatabahasaan.
Contoh : semua masyarakat jawa menyebut pesawat dengan sebutan kapal terbang.
7.      Bahasa itu unik
Bahasa dikatakan memiliki sifat yang unik karena setiap bahasa memiliki ciri khas sendiri yang dimungkinkan tidak dimiliki oleh bahasa yang lain.
Contoh : bahasa sunda berbeda dengan bahasa jawa.
8.      Bahasa itu bersifat universal
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat dan ciri-ciri sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Persamaan itu berupa kepemilikan bunyi vokal dan konsonan, kegramatikalan bahasa, dan kepemilikan fungsi pada kalimat. 
Contoh : I love you dengan aishiteru.
9.      Bahasa itu bervariasi
Variasi bahasa dapat terjadi secara idiolek, dialek, kronolek, sosiolek, dan fungsional.
Contoh : pedagang sate Madura dengan pedagang sate Banjar menyebutkan kata satenya berbeda. Pedagang Madura (te-satte) sedangkan pedagang Banjar (sate).
10.  Bahasa itu dinamis
Bahasa itu tidak statis, tetapi akan terus berubah mengikuti kebutuhan dan tuntutan pemakai bahasa.
Contoh : download dan upload berubah menjadi unduh dan unggah.
11.  Bahasa itu produktif
Bahasa selalu menghasilkan sesuatu. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara unsur dan daya pemakaiannya.
Contohnya: galau, alay, lebay.
12.  Bahasa itu manusiawi
Bahasa yang manusiawi adalah bahasa yang lahir alami oleh manusia sebagai penutur bahasa dimaksud. Hal inidikarenakan pada binatang belum tentu ada bahasa meskipun binatang dapat berkomunikasi.

D.    Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa adalah cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu. Jika dinyatakan dalam pengertian yang lebih rapat yaitu orang melakukan sesuatu dengan bahasa mereka, yaitu dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan, dan membaca, mereka berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan.
Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah dikenal, misalnya pengelompokkan yang disampaikan oleh Malinowski, yang berkaitan dengan kajiannya tentang situasi dan makna yang dirujuk pada awal pembicaraan Malinowski (1923) mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua kelompok besar, yaitu pragmaticdan magis. Sebagai seorang pakar antropologi, ia tertarik pada penggunaan bahasa yang praktis dan pragmatik di satu pihak, yang selanjutnya dibagi lagi ke dalam penggunaan bahasa yang aktif dan bahasa yang naratif, dan dipihak lain ia juga tertarik pada penggunaan bahasa yang bersifat ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seremonial atau keagamaan dan kebudayaan.
Satu pengelompokkan yang sangat berbeda adalah dengan pengelompokkan yang dikemukakan oleh seorang psikolog Australia Karl Buhler (1934). Ia tertarik pada fungsi bahasa bukan dari sudut pandang kebudayaan, tetapi dari sudut pandang perseorangan. Buhler membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri, si pembicara. Bahasa konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara dan bahasa representasional yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya (apa saja selain si pembicara atau lawan bicara).
Fungsi bahasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu fungsi bahasa secara umum dan fungsi bahasa secara khusus.
1.      Fungsi bahasa secara umum :
a.       Sebagai sarana komunikasi
Digunakan dalam berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam, misalnya, komunikasi ilmiah, komunikasi bisnis, komunikasi kerja, dan komunikasi sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka perlu berkomunikasi dalam berbagai lingkungan ditempat mereka.
b.      Sebagai sarana integrasi dan adaptasi

Bahasa indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara merupakan fungsi integratif. Indikator kedudukannya sebagai bahasa nasional:     
1.      Lambang nasional yang dapat memberikan kebanggaan jati diri pemakainya sebagai bangsa Indonesia
2.      Lambang identitas nasional yang dapat dikenali oleh masyarakat
3.      Alat pemersatu penduduk antar pulau di seluruh Indonesia
4.      Alat komunikasi antar daerah dan antar budaya

Indikator kedudukannya sebagai bahasa nasional berfungsi sebagai:
1.      Bahasa dalam kegiatan resmi
2.      Bahasa pengantar di sekolah
3.      Alat komunikasi pada tingkat nasional
4.      Alat pengembangan budaya
Dengan bahasa, orang dapat menyatakan hidup bersama, bahkan bahasa menimbulkan suatu kekuatan yang merupakan sinergi dengan orang lain. Misalnya : Seseorang tidak akan menggunakan bahasa ilmiah ketika berbelanja, seorang ibu tidak akan menggunakan bahasa bisnis ketika menasehati anaknya.

c.       Sebagai control sosial
Berfungsi untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang terlibat dalam komunikasi dapat saling memahami. Dalam kehidupan sehari-hari dapat berbentuk komunikasi timbal balik, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, masing-masing dapat mengendalikan komunikasi dan memberi saran, kritik dll.

d.      Sebagai sarana memahami diri
Dalam membangun karakter seseorang harus dapat memahami dan mengidentifikasi kondisi dirinya terlebih dahulu.Pemahaman ini mencakup kemampuan fisik, emosi,kecerdasan dll

e.       Sebagai sarana ekspresi diri
Dapat dilakukan dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan tingkat yang kompleks. Ekspresi paling sederhana misalnya untuk menyatakan cinta, lapar, krecewa.. Tingkat kompleks misalnya berupa pernyataan kemapuan mengerjakan proyek besar dalam bentuk proposal yang sulit dan rumit, menulis laporan, desain produk, dll.

f.       Sebagai sarana memahami orang lain
Dengan pemahaman terhadap seseorang, pemakai bahasa dapat mengenali berbagai hal mencakup kondisi pribadinya. Melalui pemahaman ini seseorang akan memperoleh wawasan yang luas dan bermanfaat serta memperoleh kemampuan berfikir sinergis dengan memadukan pengalaman orang lain bersama dengan potensi dirinya.

g.      Sebagai sarana mengamati lingkungan sekitar
Keberhasilan seseorang menggunakan kecerdasannya ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan situasi lingkungannya sehingga memperoleh berbagai kreatifitas baru yang dapat memberikan berbagai keuntungan bagi dirinya dan masyarakat. Misalnya, Apa yang melatarbelakangi pengamatan, bagaimana masalahnya, bagaimana cara mengamati, tujuannya, hasilnya, kesimpulan.

h.      Sebagai sarana berfikir logis
Melalui proses berfikir logis, seseorang dapat menentukan tindakan tepat yang harus dilakukan. Selain itu, perlu disadari bahwa bahasa bukan hanya sarana proses berpikir melainkan juga penghasil pemikiran, konsep, atau ide.

i.        Mengembangkan kecerdasan ganda
Selain kecerdasan berbahasa, seseorang dimungkinkan memiliki beberapa kecerdasan sekaligus. Selain itu orang yang tekun mendalami bidang studinya secara serius dimungkinkan memiliki kecerdasan yang produktif. Misal seorang ahli pemograman yang mendalami bahasa, ia dapat membuat kamus elektronik, mesin penerjemaah, dll.

j.        Membangun karaker
Kecerdasan merupakan bagian karakter dari manusia. Kecerdasan berbahasa memungkinkan seseorang dapat mengembangkan karakternya lebih baik.

Selain fungsi-fungsi tersebut, bahasa juga memiliki fungsi umum sebagai berikut :
a.       Tujuan linguistik
dimana manusia mempelajari tentang teori kebahasaan dengan tujuan praktis.
b.      Tujuan praktis
untuk mengadakan komunikasi antar masyarakat dan menjaga keharmonisan dalam pergaulan sehari-hari.
c.       Sebagai kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.
d.      Tujuan artistik
dimana manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya.

e.       Tujuan filologi
untuk mempelajari naskah-naskah kuno, misal sejarah manusia.
f.       Bahasa merupakan penjelmaan yang nyata dari suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu bangsa.
g.      Untuk mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia, selama kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri (tujuan filologis).

2.      Fungsi bahasa Indonesia secara khusus :
a.       Bahasa nasional
Tanggal 28 Oktober 1928, pada hari “Sumpah Pemuda” lebih tepatnya, Dinyatakan Kedudukan bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional memilki fungsi-fungsi sebagai berikut :
1.      Bahasa Indonesia sebagai identitas nasional
Kedudukan pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda. Yang bunyinya sebagai berikut :
“Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, Tanah Air Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, Bangsa Indonesia Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean, Bahasa Indonesia.”
2.      Bahasa Indonesia sebagai kebanggaan bangsa
Kedudukan kedua dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya. Contohnya saja India, Malaysia dan lain – lain yang harus bisa menggunakan Bahasa Inggris.
3.      Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi
Kedudukan ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi. Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll. Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan Budaya.
b.      Bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat istiadat dan budaya.
Maksudnya adalah bahasa Indonesia adalah bahasa yang mempersatukan segala perbedaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang memiliki sangat banyak keanekaragaman. Walaupun banyak sekali bahasa daerah yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat, bahasa indonesia tetaplah menjadi bahasa utama yang dapat dipahami oleh seluruh warga negara indonesia.
c.       Bahasa negara
Bahasa Negara adalah bahasa yang digunakan dalam administrasi Negara baik secara lisan maupun tulisan. Posisi bahasa Negara ini dapat dilihat pemakaiannya dalam pemerintahan secara resmi. Penulisan surat kelakuan baik, pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP) adalah bukti tertulis bahasa Negara dalam pidato resmi Presiden RI di hadapan Sidang DPR/MPR dan pidato kenegaraan lainnya adalah contoh bukti bahasa Negara secara lisan. Dalam aktifitas kenegaraan, bahasa Negara mempunyai empat fungsi, yaitu:
1.      Bahasa resmi kenegaraan
2.      Bahasa pengantar resmi di sekolah dan universitas
3.      Bahasa resmi tingkat nasional dalam kepentingan perencanaan dan pelaksaaan pembangunan Indonesia
4.      Bahasa resmi kebudayaan dalam pengembangan kebudayaan ilmu, teknologi dan komunikasi di Indonesia. 

1.      Pengertian Etika
Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi mendasar tentang ajaran-ajaan dan pandangan-pandangan moral. Erika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikat dan bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai berikut :
1.       Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia.
2.       Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika individual) maupun  mahluk sosial (etika sosial).
2.     Pancasila dalam Etika Politik
Etika adalah kelompok filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik berasal dari kata“Politics”, yang memiliki makna bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan.
Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya. Filsafat politik adalah seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme dan demokrasi.
Secara substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai pelaku etika yaitu manusia. Oleh karena itu, etika politik berkaitan eratdengan bidang pembahasan moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena yangdimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia, walaupun dalam hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun negara etika politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yangberadab dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsamaupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam bernegara. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara dijalankan sesuai dengan:
1.       Legitimasi hukum
2.       Legitimasi demokratis
3.       Legitimasi moral

3.     Pancasila Sebagai Sistem Etika
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan suatu pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Disamping ituh, terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis, dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai tersebut dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat,bangsa, dan negara maka diwujudkan dalam norma-noorma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu meliputi:
1. Norma Moral
yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut pandang baik maupun buruk, sopan maupun tidak sopan, susila atau tidak susila.
2. Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peratran hukum. Dalam pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Dengan demiian, pacasila pada hakikatnya bukan meruakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktsis melainkan suatu sistem nilai-nilai etika merupakan sumber norma.

4.     Pengertian Nilai, Moral dan Norma
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alportmengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Hierarkhi Nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial.Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai – nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1.       nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2.       nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni : jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3.       nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.       nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1.       nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia,
2.       nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3.       nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
4.       a. nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
5.       nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia
6.       nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
7.       nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Pengertian Moral berasal dari kata mos (mores) yang sinonim dengan kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma. Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal (Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
Nilai Dasar Sekalipun nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia, tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu. Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan dari
nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit. Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
5.     Hubungan Nilai, Norma, Dan Moral
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau nilai tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.Selanjutnya, nilai dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan tingkah laku manusia.
 Pengertian Nilai,  Norma, dan Moral
2.1.1 Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat, persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan” (wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang  berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Nilai sosial berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu,  Alport mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to statistfy a human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita – cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.
2.1.2 Pengertian Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi. Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma  dalam perwujudannya dapat berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan sanksi, misalnya:
a.       Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b.      Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan menyesal terhadap diri sendiri.
c.       Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa mengucilkan dalam pergaulan masyarakat.
d.      Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara atau kurungan atau denda yang dipaksakan    oleh alat Negara.
2.1.3 Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat, kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap tidak bermoral.  Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan, prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum, moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.

2.2       Pengertian Hierarkhi Nilai

Hierarkhi nilai sangat tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya  nilai-nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1.      Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak.
2.      Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni  jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum.
3.      Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni.
4.      Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah  modalitas  nilai dari yang suci.
Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan kelompok yaitu:
1.      Nilai-nilai ekonomis
2.      Nilai-nilai kejasmanian
3.      Nilai-nilai hiburan
4.      Nilai-nilai sosial
5.      Nilai-nilai watak
6.      Nilai-nilai estetis
7.      Nilai-nilai intelektual
8.      Nilai-nilai keagamaan
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1.      Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia.
2.      Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
3.      Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a.       Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
b.      Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan manusia.
c.       Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia.
d.      Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan  anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai  pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari macam – macam nilai, dapat dikemukakan bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja, akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian, tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital. Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental, Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan deriviasi atau penjabaran maka nilai-nilai dapat di kelompokan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar, nilai intrumental, nilai praksis.

A. Nilai Dasar
Nilai dasar ini besifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan objektif segala sesuatu misalkan hakikat Tuhan, manusia dengan segala sesuatu lainnya. Demikian juga hakekat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan pada hakikat suatu benda , kuantital, kualitas, aksi relasi ruang maupun waktu. Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga di sebut sebagai sumber norma yang pada gilirannya di jabarkan atau di relisasikan dalam suatu kehidupan yang bersifat praksis.
B. Nilai Intrumental
Nilai intrumental yang merupakan suatu pedoman yang dapat di ukur dan di arahkan. Bilamana nilai intrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal ini merupakan suatu nilai norma. Dan nilai intrumental sendiri juga dapat di katakan bahwa nilai intrumental itu merupakan suatu eksplistasi dari nilai dasar.
C. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakekatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai intrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Artinya oleh karna nilai dasar, nilai intrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem perwujutannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
2.3       Hubungan antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan yang  seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak  boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
2.4       Pengertian Etika
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-aaran dan pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahasas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terntentu atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai kehidupan manusia (Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika sosial merupakan kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
2.5       Pengertian Politik
Pengertian politik berasal dari kata Politics yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari tujuan-tujuan yang dipilih.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada.  Untuk melakukan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan, dan kewenangan yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk partai pplitik, lembaga masyarakat maupun perseorangan.
2.6       Pengertian Etika Politik
Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu, etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi, prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative. Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara obyektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif, kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan ham menurut kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan keadaan sosial.

2.7       Lima Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan Pancasila, karena Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar etika politik modern.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme  mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu, hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian sebagai berikut.
a.         Mutlak karena manusia memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena pemberian Sang Pencipta .
b.         Kontekstual karena baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain. Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung, kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.  Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan masing-masing.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :
  1. Pengakuan dan jaminan terhadap HAM; perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
  2. Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam kehidupan masyarakat. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas dasar ras, suku dan budaya.

Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang adalah:
  1. Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial.
  2. Ekstremisme ideologis yang anti pluralism, pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
  3. Korupsi

2.8       Dimensi Politisi Manusia
A. Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal paham liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang sebagai sekedar sarana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya, kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya agar berhasil dalam segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan diperolehnya dari masyarakat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun sosialistis melainkan monodualistis.

B. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.

2.9       Nilai-nilai Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai –nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a)      Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b)      Di sahkan dan dijalankan secara demokratis ( legitimasi demokratis)
c)      Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral / tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘ keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan, serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4). Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok Negara.


BAB III
KESIMPULAN

A. Kesimpulan
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya bukanlah merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan sumber norma baik maupun norma moral maupun norma hukum, yang pada gilirannya harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun hukum dalam kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1) asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang berlaku, (2) disahkan dang dijalankan secara demokratis (legatimasi demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).

B. Saran
      Saya sebagai pemuat makalah ini menyadari banyak terdapat kekeliliruan dalam penulisan makalah ini, maka penulis mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun dari para pembaca makalah yang saya buat ini ,ini juga demi kesempurnaan makalah ini . atas masukan dankritikan dan sarannya saya mengucapkan terima kasih.

B. DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Kaelan, M.S, 2010, Pendidikan Pancasila, penerbit Paradigma, Yogyakarta.


Load disqus comments

0 komentar