PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pancasila sebagai suatu
sistem filsafat pada hakikatnya merupakan suatu nilai sehingga merupakan sumber
dari segala penjabaran norma baik norma hukum, norma moral maupun norma
kenegaraan lainnya. Dalam Filsafat Pancasila terkandung di dalamnya suatu
pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional, sistematis dan
komperhensif (menyeluruh) dan sistem pemikiran ini merupakan suatu nilai.Oleh
karena itu suatu pemikiran filsafat tidak secara langsung menyajikan
norma-norma yang merupakan pedoman dalam suatu tindakan atau aspek praksis
melainkan suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar.
Sebagai suatu nilai, Pancasila memberikan dasar-dasa yang bersifat
fundamental dan universal bagi manusia baik dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Adapun manakala nilai-nilai tersebut akan dijabarkan
dalam kehidupan yang bersifat praksis atau kehidupan yang nyata dalam
masyarakat, bangsa ataupun negara maka nilai-nilai tersebut kemudian dijabarkan
dalam suatu norma-norma yang jelas sehingga merupakan suatu pedoman.
Norma-norma tersebut meliputi (1) norma moral
yaitu yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur dari sudut
baik maupun buruk. Sopan ataupun santun, susila ataupun tidak susila.Dalam
kapasitas inilah nilai-nilai Pancasila telah terjabarkan dalam suatu
norma-norma moralitas atau norma-norma etika sehingga Pancasila merupakan
sistem etika dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. (2) norma hukum
yaitu suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Dalam pengertian inilah maka Pancasila
berkedudukan sebagai sumber dari segala hukum di negara Indonesia.Sebagai
sumber dari segala sumber hukum nilai-nilai Pancasila yang sejak dahulu telah
merupakan suatu cita-cita moral yang luhur yang terwujud dalam kehidupan
sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara. Atas dasar pengertian
inilah maka nilai-nilai Pancasila senbenarnya berasal dari bangsa Indonesia
sendiri atau dengan kata lain perkataan bangsa Indonesia sebagai asal-mula
materi (kausa materialis) nilai-nilai Pancasila.
B. Rumusah Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan sebagai
berikut :
a. Apa pengertian etika ?
b.
Apa prinsip etika politik ?
c. Apa nilai – nilai Pancasila sebagai
sumber etika politik ?
C. Tujuan
Tujuan dari penulisan
makalah ini bersadarkan rumusan masalah diatas adalah sebagai berikut :
a.
Untuk mengetahui pengertian etika.
b.
Untuk mengetahui dan memahami prinsip
– prinsip dasar etika politik pancasila.
c.
Untuk mengetahui dan memahami nilai – nilai
Pancasila sebagai sumber etika politik.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Etika
Sebagai suatu usaha ilmiah, filsafat dibagi
menjadi beberapa cabang menurut lingkungan bahasanya
masing-masing.Cabang-cabang itu dibagi menjadi dua kelompok bahasan yaitu
filsafat teoritis dan filsafat praktis. Kelompok pertama mempertanyakan segala
sesuatu yang ada, sedangkan kelompok kedua membahas bagaimana manusia bersikap
terhadap apa yang ada tersebut. Jadi filsafat teoritis mempertanyakan dan
berusaha mencari jawabannya tentang segala sesuatu, misalnya hakikat manusia,
alam, hakikat realitas sebagai suatu keseluruhan, tentang pengetahuan, tentang
apa yang kita ketahui dan lain sebagainya. Dalam hal ini filsafat teoritispun
juga mempunyai maksud-maksud dan berkaitan dengan hal-hal yang bersifat
praktis, karena pemahaman yang dicari menggerakkan kehidupannya.
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan
dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus.Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan moral.Etika adalah suatu ilmuyang membahas tentang
bagaimana dan mengapa kita menikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana
kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan berbagai
ajaran moral (Suseno, 1987).Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas
prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia
(Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang
membahas tentang kewajiban manusia terhadap diri sendiri dan etika sosial
yang membahas tentang kewajiban manusia terhadap manusia lain dalam hidup
masyarakat, yang merupakan suatu bagian terbesar dari etika khusus.
Sebenarnya etika lebih
banyak bersangkutan dengan prinsip-prinsip dasar pembenaran dalam hubungan
dengan tingkah laku manusia (Kattsoff, 1986).Dapat juga dikatakan bahwa etika
berkaitan dengan dasar-dasar filosofis dalam hubungan dengan tingkah laku.
B.
Pancasila dalam etika politik
Etika
adalah kelompok filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil
sikap yang bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik
berasal dari kata“Politics”, yang memiliki makna
bermacam – macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang
menyangkut proses penentuan tujuan – tujuan.
Etika
politik adalah cabang dari filsafat politik yang membicarakan perilaku atau
perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi baik atau buruknya.Filsafat
politik adalah seperangkat keyakinan masyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya, seperti komunisme dan
demokrasi.
Secara
substantif pengertian etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai
pelaku etika yaitu manusia.Oleh karena itu, etika politik berkaitan eratdengan
bidang pembahasan moral.hal ini berdasarkan
kenyataan bahwa pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai
subjek etika.Maka kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian
kewajiban-kewajiban lainnya, karena yangdimaksud adalah kewajiban manusia
sebagai manusia, walaupun dalam hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun
negara etika politik tetap meletakkan dasarfundamental manusia sebagai
manusia.Dasar ini lebih meneguhkan akar etika politikbahwa kebaikan senantiasa
didasarkan kepada hakikat manusia sebagai makhluk yangberadab dan berbudaya
berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat, bangsamaupun negara bisa
berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik
yang lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun
institusi-institusi politik yang adil.Etika politik membantu untuk menganalisa
korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur politik
yang ada.Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika politik
yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu dalam
bernegara.Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan dalam Negara
dijalankan sesuai dengan:
1. Legitimasi
hukum
2. Legitimasi
demokratis
3. Legitimasi
moral
C. Prinsip Dasar Etika Politik.
Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai lima
prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan pancasila, karena
pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan – tuntutan dasar
etika politik modern.
1.
Pluralisme
Pluralisme adalah kesedian untuk menerima pluraltas,
artinya untuk hidup dengan positif, damai, toletan, dan biasa normal bersama
warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama, budaya, adat. Pluralisme
mengiplikasikan pengakuan terhadap kebebasan beragama, kebebasan berpikir,
kebebasan mencari informasi, toleransi. Pluralisme memerlukan kematangan
kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2.
Hak Asasi Manusia
Jaminan hak – hak asasi manusia adalah bukti
kemanusian yang adil dan beradab. Karena hak – hak asasi manusia meyatakan
bagaimana manusia wajib diperlukan dan wajib tidak diperlukan. Jadi bagaimana
manusia harus diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia.
Karena itu, hak – hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam
pengertian sebagai berikut.
a.
Mutlak karena manusia
memilikinya bukan karena pemberian negara, masyarakat, melainkan karena
pemberian sang pencipta.
b.
Kontekstual karena
baru mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang moderenitas di
mana manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan sebaliknya diancam
oleh negara.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup demi
diri sendiri, melainkan juga demi rang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabilaa tidak hanya bagi
diri sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia – manusia lain.
Maka disini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi
seimbang apabila semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan
keterbatasan masing – masing.
4.
Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak ada
manusia atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan dan
memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan kesadaran
bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa pemimpin mereka dan kemana
mereka mau dipimpin. Jadi, demokrasi memerlukan sebuah sistem penerjemah
kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar
yaitu :
Pengakuan dan jaminan terhadap HAM : perlindungan
menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi kediktatoran mayoritas.
1.
Kekuasaan dijalankan
atas dasar, dan dalam ketaatan terhadap hukum (Negara hokum demokratis). Maka
kepastian hukum merupakan unsur harkiki dalam demokrasi pemerintah yang
sewanang – wenang.
5.
Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar dalam
kehidupan masyarakat. Masyarakat mulai dengan penolakan terhadap ketidakadilan.
Tuntutan keadilan boleh dipahami secara ideologis, sebagai pelaksanaan ide –
ide, ideologi – ideologi, agama – agama tertentu, keadilan sosial tidak sama
dengan sosiolisme. Keadilan sosial adalah membongkar ketidakadilan yang ada
dalam masyarakat.
Untuk itu tantangan etika politik paling serius di
Indonesia sekarang adalah :
1. Kemskinan, ketidakpedulian dan kekerasan sosial
2. Ekstrimisme, ideologis yang anti pluralisme, pertama
tama ekstrimisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak Tuhan merasa
berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
3. Korupsi.
F. Pengertian Politik
Pengertian ‘Politik’ berasal dari kosa kata ‘Politics’,
yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
‘negara’, yang menyangkut proses penentuan tujuan-tujuan dari sistem itu dan
diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. ‘Pengambilan keputusan’ atau ‘dicisionmaking’
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu menyangkut
seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang telah dipilih itu.
Untuk melaksanakan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum atau public polities, yang
menyangkut pengaturan dan pembagian atau distributions dari
sumber-sumber yang ada. Untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan itu,
diperlukan suatu kekuasaan (power) dan kewenangan (authority),
yang akan dipakai baik untuk membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan
konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat
bersifat persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan (ceorcion).
Tanpa adanya suatu paksaan kebijaksanaan ini hanya merupakan rumusan keinginan
belaka (statement of intent) yang tidak akan pernah terwujud.
Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari
seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan pribadi seseorang (privat
goals).Selain itu politik menyangkut kegiatan berbagai kelompok termasuk
partai politik lembaga masyarakat maupun perseorangan.
Berdasarkan
pengertian-pengertian pokok tentang politik maka secara operasional bidang
politik menyangkut konsep-konsep pokok yang berkaitan dengan negara (state),
kekuasaan (power), pengambilan keputusan (dectsionmaking), kebijaksanaan
(policy), pembagian (distribution), serta alokasi (allocation).
Jikalau dipahami berdasarkan pengertian politik
secara sempit sebagaimana diuraikan di atas, maka seolah-olah bidang politik
lebih banyak berkaitan dengan para pelaksana pemerintahan negara,
lembaga-lembaga tinggi negara, kalangan aktivis politik serta para pejabat
serta birokrat dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara. Bilamana lingkup
pengertian politik dipahami seperti itu maka terdapat suatu kemungkinan akan
terjadi ketimpangan dalam aktualisasi berpolitik, karena tidak melibatkan aspek
rakyat baik sebagai individu maupun sebagai suatu lembaga yang terdapat dalam
masyarakat. Oleh karena itu dalam hubungan dengan etika politik pengertian
politik tersebut harus dipahami dalam pengertian yang lebih luas yaitu menyangkut
seluruh unsur yang membentuk suatu persekutuan hidup yang disebut masyarakat
negara.
G. Nilai – nilai Pancasila sebagai
Sumber Etika Politk
Sebagai dasar filsafat negara Pancasila tidak
hanya merupakan sumber derivasi peraturan perundang-undangan, melainkan juga
merupakan sumber moralitas terutama dalam hubungannya dengan legitimasi
kekuasaan, hukum serta berbagai kebijakan dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara.Sila pertama ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ serta sila kedua ‘Kemanusiaan
yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai-nilai moral bagi kehidupan
kebangsaan dan kenegaraan.
Negara Indonesia yang berdasarkan sila I
‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ bukanlah negara ‘Teokrasi’ yang mendasarkan kekuasaan
negara dan penyelenggaraan negara pada legitimasi religius.Kekuasaan kepala
negara tidak bersifat mutlak berdasarkan legitimasi religius, melainkan
berdasarkan legitimasi hukum serta legitimasi demokrasi.Oleh karena itu asas
sila ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ lebih berkaitan dengan legitimasi moral.Hal
inilah yang membedakan negara yang Berketuhanan Yang Maha Esa dengan negara
teokrasi.Walaupun dalam negara Indonesia tidak mendasarkan pada legitimasi
religius, namun secara moralitas kehidupan negara harus sesuai dengan
nilai-nilai yang berasal dari Tuhan terutama hukum serta moral dalam kehidupan
negara.
Selain sila I, sila II ‘Kemanusiaan yang Adil
dan Beradab’ juga merupakan sumber nilai-nilai moralitas dalam kehidupan
negara.Negara pada prinsipnya adalah merupakan persekutuan hidup manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.Bangsa Indonesia sebagai bagian dari umat
manusia cita-cita serta prinsip-prinsip hidup demi kesejahteraan bersama (sila
III).Oleh karena itu manusia pada hakikatnya merupakan asas yang bersifat
fundamental dalam kehidupan negara.Manusia adalah merupakan dasar kehidupan
serta pelaksanaan dan penyelenggaraan negara.Oleh karena itu asas-asas
kemanusiaan adalah bersifat mutlak dalam kehidupan negara dan hukum.Dalam
kehidupan negara kemanusiaan harus mendapatkan jaminan hukum, maka hal inilah
yang diistilahkan dengan jaminan atas hak-hak dasar (asasi) manusia.Selain itu
asas kemanusiaan juga harus merupakan prinsip dasar moralitas dalam pelaksanaan
dan penyelenggaraan negara.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, etika
politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1)
asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku, (2) disahkan dang dijalankan secara demokratis (legatimasi
demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau
tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral) (lihat Suseno,1987:115).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki tiga dasar tersebut.Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik menyangkut kekuasaan, kebijaksanaan
yang menyangkut publik, pembagian serta kewenangan harus berdasarkan legitimasi
moral religius (sila I) serta moral kemanusiaan (sila II).Hal ini ditegaskan
oleh Hatta tatkala mendirikan negara, bahwa negara harus berdasarkan moral
Ketuhanan dan moral kemanusiaan agar tidak terjerumus ke dalam machtsstaats
atau negara kekuasaan.
Selain itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara harus berdasarkan legitimasi hukum yaitu prinsip ‘legalitas’.Negara
Indonesia adalah negara hukum, oleh karena itu ‘keadilan’ dalam hidup bersama
(keadilan sosial) sebagaimana terkandung dalam sila V, adalah merupakan tujuan
dalam kehidupan negara.Oleh karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan
negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan serta pembagian senantiasa harus
berdasarkan atas hukum yang berlaku. Pelanggaraan atas prinsip-prinsip keadilan
dalam kehidupan kenegaraan akan menimbulkan ketidakseimbangan dalam kehidupan
negara.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala
kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat (sila
IV).Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasaan negara. Oleh
karena itu dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara segala kebijaksanaan ,
kekuasaan serta kewenangan harus dikembalikan kepada rakyat sebagai pendukung
pokok negara. Maka dalam pelaksanaan politik praktis hal-hal yang menyangkut
kekuasaan eksekutif, legislatif serta yudikatif, konsep pengambilan keputusan,
pengawasan serta partisipasi harus berdasarkan legimitasi dari rakyat, atau
dengan lain perkataan harus memiliki ‘legimitasi demokratis’.
Prinsip-prinsip dasar etika politik itu dalam
realisasi praktis dalam kehidupan kenegaraan senantiasa dilaksanakan secara
korelatif diantara ketiganya. Kebijaksanaan serta keputusan yang diambil dalam
pelaksanaan kenegaraan baik menyangkut politik dalam negeri maupun luar negeri,
ekonomi baik nasional maupun global, yang menyangkut rakyat, dan lainnya selain
berdasarkan hukum yang berlaku (legimitasi hukum), harus mendapat legitimasi
rakyat (legitimasi demokratis) dan juga harus berdasarkan prinsip-prinsip
moralitas (legitimasi moral). Misalnya kebijaksanaan harga BBM, Tarif dasar
Listrik, Taris Telepon, kebijaksanaan politik dalam maupun luar negeri harus
didasarkan atas tiga prinsip-prinsip tersebut.
Etika politik ini juga harus direalisasikan oleh
setiap individu yang ikut terlibat secara kongkrit dalam pelaksanaan
pemerintahan negara. Para pejabat eksekutif, anggota legislatif, maupun
yudikatif, para pejabat negara, anggota DPR maupun MPR aparat pelaksana dang
penegak hukum, harus menyadari bahwa selain legitimasi hukum dan legitimasi
demokratis juga harus berdasar pada legitimasi moral. Misalnya suatu
kebijaksanaan itu sesuai dengna hukum belum tentu sesuai dengan moral.Misalnya
gaji para Pejabat dan anggot DPR, MPR itu sesuai dengan hukum, namun mengingat
kondisi rakyat yang sangat menderita belum tentu layak secara moral (legitimasi
moral).
A.
Pengertian
Bahasa Menurut Para Ahli
1. Pengertian
Bahasa menurut (Depdiknas, 2005:3) Bahasa pada hakikatnya adalah ucapan pikiran
dan perasaan manusia secara teratur, yang mempergunakan bunyi sebagai alatnya.
2. Pengertian
Bahasa menurut Harun Rasyid, Mansyur & Suratno (2009:126) bahasa merupakan
struktur dan makna yang bebas dari penggunaannya, sebagai tanda yang
menyimpulkan suatu tujuan.
3. Sedangkan
bahasa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Hasan Alwi, 2002:88) bahasa
berarti sistem lambang bunyi yang arbitrer, yang digunakan oleh semua orang
atau anggota masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasi
diri dalam bentuk percakapan yang baik, tingkah laku yang baik, sopan santun
yang baik.
4. Kesimpulan Pengertian
Bahasa Menurut Para Ahli
Berdasarkan beberapa
pengertian bahasa tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengertian
bahasa adalah sistem yang teratur berupa lambang-lambang bunyi yang digunakan
untuk mengekspresikan perasaan dan pikiran bahasa tersebut.
Dari pengertian bahasa
tersebut, hal ini menonjolkan beberapa segi, sebagai berikut :
a.
Bahasa adalah sistem. Maksudnya bahasa itu tunduk kepada
kaidah-kaidah tertentu baik fonetik, fonemik dan gramatik. Dengan kata lain
bahasa itu tidak bebas tetapi terikat kepada kaidah-kaidah tertentu.
b.
Sistem bahasa itu sukarela (arbitrary). Sistem berlaku secara
umum, dan bahasa merupakan peraturan yang mendasar. Sebagai contoh : ada
beberapa bahasa yang memulai kalimat dengan kata benda seperti bahasa inggris,
dan ada bahasa yang mengawali kalimatnya dengan kata kerja. Dan seseorang tidak
dapat menolak aturan-aturan tersebut baik yang pertama maupun yang kedua. Jadi
tidak tunduk kepada satu dialek tertentu.
c.
Bahasa itu pada dasarnya adalah bunyi, dan manusia sudah
menggunakan bahasa lisan sebelum bahasa lisan seperti halnya anak belajar
berbicara sebelum belajar menulis. Di dunia banyak orang yang berbahasa lisan,
tetapi tidak dapat menuliskannya. Jadi bahasa itu pada dasarnya adalah bahasa
lisan (berbicara), adapun menulis adalah bentuk bahasa kedua. Dengan kata lain
bahasa itu adalah ucapan dan tulisan itu merupakan lambang bahasa.
d.
Bahasa itu simbol. Bahasa itu merupakan simbol-simbol tertentu.
Misalnya kata “rumah” menggambarkan hakikat sebuah rumah. Jadi bahasa itu
adalah lambang-lambang tertentu. Pendengar atau pembaca meletakkan
simbol-simbol atau lambang-lambang tersebut secara proporsional.
e.
Fungsi bahasa adalah mengespresikan pikiran dan perasaan. Jadi
tidak hanya mengkespresikan perasaan saja. Peranan bahasa terlihat jelas dalam
mengespresikan estetika, rasa sedih senang dalam interaksi sosial. Dalam hal
ini mereka mengeskpresikan perasaan dan buah pikiran. Karena itu bahasa itu
mempunyai peranan sosial, emosional disamping berperan untuk mengemukakan ide.
B.
Fungsi Bahasa Menurut
Para Ahli
1.
Del Hymes dan Guy Cook
Bahwa bahasa berfungsi
sebagai :
-
Kontekstual (situasi)
-
Referensial (pesan)
-
Emotif (penutur)
-
Konatif / Direktif (mitra tutur)
-
Fatis (jalur)
-
Puitis (bentuk pesan)
-
Metalinguistik (aspek bahasa)
2.
NEWMARK (Dengan menggunakan teori BUHLER dan JACOBSON)
Menggolongkan fungsi
bahasa menjadi :
-
Fungsi Ekspresif
-
Fungsi Informatif
-
Fungsi Vokatif
-
Fungsi Estetik
-
Fungsi Fatis
-
Fungsi Metalingual
3.
Ernawati W
Fungsi bahasa terdiri
dari beberapa fungsi sebagai berikut :
-
Fungsi pemersatu
-
Sebagai pemberi kekhasan
-
Sebagai pembawa kewibawaan
-
Sebagai kerangka acuan
4.
Kneller
Bahwa bahasa memiliki 3
(tiga) fungsi :
-
Simbolik
-
Emoti
-
Afektif
5.
Halliday
Bahwa bahasa memiliki
fungsi sebagai :
-
Fungsi instrumental
-
Fungsi regulatoris
-
Fungsi interaksional
-
Fungsi personal
-
Fungsi heuristik
-
Fungsi imajinatif
-
Fungsi representasional
C.
Konsep Bahasa
Hakikat bahasa yang
pertama berhubungan dengan wujud bahasa dan kedua yang berkaitan dengan fungsi
bahasa. Dilihat dari wujudnya, bahasa adalah sistem lambang bunyi atau sistem
sibmbol lisan yang bersifat arbriter. Dilihat dari fungsinya, bahasa adalah
sebagai identitas bangsa, sebagai bahasa persatuan Republik Indonesia, sebagai
bahasa nasional, sebagai alat untuk menjalankan administrasi negara Republik
Indonesia, sebagai alat komunikasi bangsa Indonesia, dan sebagai alat
pengembangan kebudayaan bangsa.
Hakikat bangsa adalah
suatu konsep yang mendasar tentang bahasa, ada banyak makna dari hakikat bahasa
seperti :
1.
Bahasa
adalah bunyi
Menurut Kridaklaksana (1983:27)
bunyi adalah pesan dari pusat saraf sebagai akibat dari gendang telinga yang
bereaksi karena perubahan-perubahan dalam tekanan udara. Oleh karena itu banyak
ahli menyatakan bahwa yang disebut bahasa itu adalah yang sifatnya primer.
Contoh : bunyi teriakan, bersin, batu, dan lain-lain.
2.
Bahasa
itu bermakna
Bahasa sebagai suatu hal yang
bermakna dan berkaitan erat dengan sistem lambang bunyi.
Contoh : kuda = berkaki empat, binatang peliharaan sebagai
alat transportasi.
3.
Bahasa
adalah lambang
Bahasa sebagai lambang artinya
memiliki simbol untuk menyampaikan pesan kepada lawan tutur. Bahasa
berfungsi untuk menegaskan bahasa yang
hendak disampaikan.
Contoh : bendera merah putih,
merah = berani, putih = suci
4.
Bahasa
itu bersistem
Sebagai sebuah sistem, bahasa
memiliki konsep sistematis dan sistemik. Sistematis dapat diartikan
bahwa bahasa itu tersusun menurut suatu pola yang selalu berkaitan,
tidak tersusun acak. Sistemik maksudnya bahasa itu bukan merupakan
sistem tunggal, tetapi juga terdiri atas sub-sub sistem atau sistem
bawahan. Dengan demikian, sebagai sebuah sistem, bahasa berfungsi
untuk memilah kajian morfologi, fonologi, sintaksi, dan semantik.
5.
Bahasa
itu arbitrer
Arbitrer dapat diartikan sewenang-wenang, berubah-ubah,
tidak tetap, mana suka. Arbitrer diartikan pula dengan tidak adanya hubungan
wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi) dengan konsep atau pengertian
yang dimaksud oleh lambang tersebut. Hal ini berfungsi untuk memudahkan orang
dalam melakukan tindakan kebahasaan.
Contoh : kuda yang disebut oleh orang.
6.
Bahasa
itu konvensional
Bahasa merupakan hasil kesepakatan bersama. Hal inilah yang
kemudian memunculkan aturan-aturan dalam ketatabahasaan.
Contoh : semua masyarakat jawa menyebut pesawat dengan
sebutan kapal terbang.
7.
Bahasa
itu unik
Bahasa
dikatakan memiliki sifat yang unik karena setiap bahasa memiliki ciri khas
sendiri yang dimungkinkan tidak dimiliki oleh bahasa yang lain.
Contoh
: bahasa sunda berbeda dengan bahasa jawa.
8.
Bahasa
itu bersifat universal
Keuniversalan bahasa dapat dibuktikan dengan adanya sifat
dan ciri-ciri sama yang dimiliki oleh bahasa-bahasa di dunia. Persamaan
itu berupa kepemilikan bunyi vokal dan konsonan, kegramatikalan bahasa, dan
kepemilikan fungsi pada kalimat.
Contoh : I love you dengan aishiteru.
9.
Bahasa
itu bervariasi
Variasi bahasa dapat terjadi secara idiolek, dialek,
kronolek, sosiolek, dan fungsional.
Contoh : pedagang sate Madura dengan pedagang sate Banjar
menyebutkan kata satenya berbeda. Pedagang Madura (te-satte) sedangkan pedagang
Banjar (sate).
10. Bahasa itu dinamis
Bahasa itu tidak statis, tetapi akan
terus berubah mengikuti kebutuhan dan tuntutan pemakai bahasa.
Contoh : download dan upload berubah menjadi unduh dan
unggah.
11. Bahasa itu produktif
Bahasa selalu menghasilkan sesuatu.
Hal ini dapat dilihat dari perbandingan antara unsur dan daya pemakaiannya.
Contohnya: galau, alay, lebay.
12. Bahasa itu manusiawi
Bahasa yang manusiawi adalah bahasa
yang lahir alami oleh manusia sebagai penutur bahasa dimaksud. Hal inidikarenakan pada
binatang belum tentu ada bahasa meskipun binatang dapat berkomunikasi.
D.
Fungsi Bahasa
Fungsi bahasa adalah cara orang menggunakan bahasa mereka,
atau bahasa-bahasa mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu. Jika
dinyatakan dalam pengertian yang lebih rapat yaitu orang melakukan sesuatu
dengan bahasa mereka, yaitu dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan, dan
membaca, mereka berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan.
Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah
dikenal, misalnya pengelompokkan yang disampaikan oleh Malinowski, yang
berkaitan dengan kajiannya tentang situasi dan makna yang dirujuk pada awal
pembicaraan Malinowski (1923) mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam dua
kelompok besar, yaitu pragmaticdan magis. Sebagai seorang pakar antropologi, ia
tertarik pada penggunaan bahasa yang praktis dan pragmatik di satu pihak, yang
selanjutnya dibagi lagi ke dalam penggunaan bahasa yang aktif dan bahasa yang
naratif, dan dipihak lain ia juga tertarik pada penggunaan bahasa yang bersifat
ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan-kegiatan seremonial atau
keagamaan dan kebudayaan.
Satu pengelompokkan yang sangat berbeda adalah dengan
pengelompokkan yang dikemukakan oleh seorang psikolog Australia Karl Buhler
(1934). Ia tertarik pada fungsi bahasa bukan dari sudut pandang kebudayaan,
tetapi dari sudut pandang perseorangan. Buhler membedakan fungsi bahasa ke
dalam bahasa ekspresif, bahasa konatif, dan bahasa representasional. Bahasa
ekspresif yaitu bahasa yang terarah pada diri sendiri, si pembicara. Bahasa
konatif yaitu bahasa yang terarah pada lawan bicara dan bahasa representasional
yaitu bahasa yang terarah pada kenyataan lainnya (apa saja selain si pembicara
atau lawan bicara).
Fungsi bahasa terbagi menjadi dua bagian, yaitu fungsi
bahasa secara umum dan fungsi bahasa secara khusus.
1. Fungsi bahasa secara umum :
a.
Sebagai sarana komunikasi
Digunakan
dalam berbagai lingkungan, tingkatan, dan kepentingan yang beraneka ragam,
misalnya, komunikasi ilmiah, komunikasi bisnis, komunikasi kerja, dan
komunikasi sosial. Manusia tidak dapat hidup sendiri, mereka perlu
berkomunikasi dalam berbagai lingkungan ditempat mereka.
b. Sebagai
sarana integrasi dan adaptasi
Bahasa
indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional dan bahasa negara merupakan
fungsi integratif. Indikator kedudukannya sebagai bahasa nasional:
1. Lambang
nasional yang dapat memberikan kebanggaan jati diri pemakainya sebagai bangsa
Indonesia
2. Lambang
identitas nasional yang dapat dikenali oleh masyarakat
3. Alat
pemersatu penduduk antar pulau di seluruh Indonesia
4. Alat
komunikasi antar daerah dan antar budaya
Indikator kedudukannya sebagai
bahasa nasional berfungsi sebagai:
1. Bahasa dalam kegiatan resmi
2. Bahasa pengantar di sekolah
3. Alat komunikasi pada tingkat nasional
4. Alat
pengembangan budaya
Dengan
bahasa, orang dapat menyatakan hidup bersama, bahkan bahasa menimbulkan suatu
kekuatan yang merupakan sinergi dengan orang lain. Misalnya : Seseorang tidak
akan menggunakan bahasa ilmiah ketika berbelanja, seorang ibu tidak akan
menggunakan bahasa bisnis ketika menasehati anaknya.
c. Sebagai
control sosial
Berfungsi
untuk mengendalikan komunikasi agar orang yang terlibat dalam komunikasi dapat
saling memahami. Dalam kehidupan sehari-hari dapat berbentuk komunikasi timbal balik,
baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, masing-masing dapat
mengendalikan komunikasi dan memberi saran, kritik dll.
d. Sebagai
sarana memahami diri
Dalam
membangun karakter seseorang harus dapat memahami dan mengidentifikasi kondisi
dirinya terlebih dahulu.Pemahaman ini mencakup kemampuan fisik,
emosi,kecerdasan dll
e. Sebagai
sarana ekspresi diri
Dapat
dilakukan dari tingkat yang paling sederhana sampai dengan tingkat yang
kompleks. Ekspresi paling sederhana misalnya untuk menyatakan cinta, lapar,
krecewa.. Tingkat kompleks misalnya berupa pernyataan kemapuan mengerjakan
proyek besar dalam bentuk proposal yang sulit dan rumit, menulis laporan,
desain produk, dll.
f. Sebagai
sarana memahami orang lain
Dengan
pemahaman terhadap seseorang, pemakai bahasa dapat mengenali berbagai hal
mencakup kondisi pribadinya. Melalui pemahaman ini seseorang akan memperoleh
wawasan yang luas dan bermanfaat serta memperoleh kemampuan berfikir sinergis
dengan memadukan pengalaman orang lain bersama dengan potensi dirinya.
g. Sebagai
sarana mengamati lingkungan sekitar
Keberhasilan
seseorang menggunakan kecerdasannya ditentukan oleh kemampuannya memanfaatkan
situasi lingkungannya sehingga memperoleh berbagai kreatifitas baru yang dapat
memberikan berbagai keuntungan bagi dirinya dan masyarakat. Misalnya, Apa yang
melatarbelakangi pengamatan, bagaimana masalahnya, bagaimana cara mengamati,
tujuannya, hasilnya, kesimpulan.
h. Sebagai
sarana berfikir logis
Melalui
proses berfikir logis, seseorang dapat menentukan tindakan tepat yang harus
dilakukan. Selain itu, perlu disadari bahwa bahasa bukan hanya sarana proses
berpikir melainkan juga penghasil pemikiran, konsep, atau ide.
i.
Mengembangkan kecerdasan ganda
Selain
kecerdasan berbahasa, seseorang dimungkinkan memiliki beberapa kecerdasan
sekaligus. Selain itu orang yang tekun mendalami bidang studinya secara serius
dimungkinkan memiliki kecerdasan yang produktif. Misal seorang ahli pemograman
yang mendalami bahasa, ia dapat membuat kamus elektronik, mesin penerjemaah,
dll.
j.
Membangun karaker
Kecerdasan
merupakan bagian karakter dari manusia. Kecerdasan berbahasa memungkinkan
seseorang dapat mengembangkan karakternya lebih baik.
Selain
fungsi-fungsi tersebut, bahasa juga memiliki fungsi umum sebagai berikut :
a. Tujuan
linguistik
dimana
manusia mempelajari tentang teori kebahasaan dengan tujuan praktis.
b. Tujuan
praktis
untuk
mengadakan komunikasi antar masyarakat dan menjaga keharmonisan dalam pergaulan
sehari-hari.
c. Sebagai
kunci mempelajari pengetahuan-pengetahuan lain, di luar pengetahuan kebahasaan.
d. Tujuan
artistik
dimana
manusia mengolah dan menggunakan bahasa dengan seindah-indahnya untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaannya.
e. Tujuan
filologi
untuk
mempelajari naskah-naskah kuno, misal sejarah manusia.
f. Bahasa
merupakan penjelmaan yang nyata dari suatu kebudayaan yang dimiliki oleh suatu
bangsa.
g. Untuk
mempelajari naskah-naskah tua guna menyelidiki latar belakang sejarah manusia,
selama kebudayaan dan adat-istiadat, serta perkembangan bahasa itu sendiri
(tujuan filologis).
2.
Fungsi bahasa Indonesia secara khusus :
a. Bahasa
nasional
Tanggal
28 Oktober 1928, pada hari “Sumpah Pemuda” lebih tepatnya, Dinyatakan Kedudukan
bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional memilki fungsi-fungsi sebagai berikut
:
1.
Bahasa Indonesia sebagai identitas
nasional
Kedudukan
pertama dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan
dengan digunakannya bahasa indonesia dalam bulir-bilir Sumpah Pemuda. Yang
bunyinya sebagai berikut :
“Kami
poetera dan poeteri Indonesia mengakoe bertoempah darah satoe, Tanah Air
Indonesia. Kami poetera dan poeteri Indonesia mengakoe berbangsa satoe, Bangsa
Indonesia Kami poetera dan poeteri Indonesia mendjoendjoeng bahasa persatoean,
Bahasa Indonesia.”
2.
Bahasa Indonesia sebagai kebanggaan
bangsa
Kedudukan kedua dari Kedudukan
Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan dengan masih digunakannya
Bahasa Indonesia sampai sekarang ini. Berbeda dengan negara-negara lain yang
terjajah, mereka harus belajar dan menggunakan bahasa negara persemakmurannya.
Contohnya saja India, Malaysia dan lain – lain yang harus bisa menggunakan
Bahasa Inggris.
3. Bahasa
Indonesia sebagai alat komunikasi
Kedudukan
ketiga dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional dibuktikan
dengan digunakannya Bahasa Indonesia dalam berbagai macam media komunikasi.
Misalnya saja Buku, Koran, Acara pertelevisian, Siaran Radio, Website, dll.
Karena Indonesia adalah negara yang memiliki beragam bahasa dan budaya, maka
harus ada bahasa pemersatu diantara semua itu. Hal ini juga berkaitan dengan
Kedudukan keempat dari Kedudukan Bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional
sebagai Alat pemersatu Bangsa yang berbeda Suku, Agama, ras, adat istiadat dan
Budaya.
b. Bahasa Indonesia sebagai alat
pemersatu bangsa yang berbeda suku, agama, ras, adat istiadat dan budaya.
Maksudnya adalah bahasa Indonesia
adalah bahasa yang mempersatukan segala perbedaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang memiliki sangat banyak keanekaragaman. Walaupun banyak sekali
bahasa daerah yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat, bahasa indonesia
tetaplah menjadi bahasa utama yang dapat dipahami oleh seluruh warga negara
indonesia.
c. Bahasa negara
Bahasa
Negara adalah bahasa yang digunakan dalam administrasi Negara baik secara lisan
maupun tulisan. Posisi bahasa Negara ini dapat dilihat pemakaiannya dalam
pemerintahan secara resmi. Penulisan surat kelakuan baik, pembuatan Kartu Tanda
Penduduk (KTP) adalah bukti tertulis bahasa Negara dalam pidato resmi Presiden
RI di hadapan Sidang DPR/MPR dan pidato kenegaraan lainnya adalah contoh bukti bahasa
Negara secara lisan. Dalam aktifitas kenegaraan, bahasa Negara mempunyai empat
fungsi, yaitu:
1. Bahasa
resmi kenegaraan
2. Bahasa
pengantar resmi di sekolah dan universitas
3. Bahasa
resmi tingkat nasional dalam kepentingan perencanaan dan pelaksaaan pembangunan
Indonesia
4. Bahasa
resmi kebudayaan dalam pengembangan kebudayaan ilmu, teknologi dan komunikasi
di Indonesia.
1.
Pengertian Etika
Etika adalah kelompok
filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana manusia bersikap terhadap
apa yang ada) dan dibagi mendasar tentang ajaran-ajaan dan pandangan-pandangan
moral. Erika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita
mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikat dan bertanggung
jawab dengan berbagai ajaran moral. Kedua kelompok etika itu adalah sebagai
berikut :
1.
Etika Umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
setiap tindakan manusia.
2.
Etika Khusus, membahas prinsip-prinsip tersebut di atas dalam
hubungannya dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu
(etika individual) maupun mahluk sosial (etika sosial).
2.
Pancasila dalam Etika Politik
Etika adalah kelompok
filsafat praktis yang membahas tentang bagaimana dan mengapa kita mengikuti
suatu ajaran moral tertentu, atau bagaimana kita harus mengambil sikap yang
bertanggung jawab dengan berbagai ajaran moral. Pengertian politik berasal dari
kata“Politics”, yang memiliki makna bermacam – macam
kegiatan dalam suatu sistem politik atau negara yang menyangkut proses
penentuan tujuan – tujuan.
Etika politik adalah cabang dari filsafat politik yang
membicarakan perilaku atau perbuatan-perbuatan politik untuk dinilai dari segi
baik atau buruknya. Filsafat politik adalah seperangkat keyakinan masyarakat,
berbangsa, dan bernegara yang dibela dan diperjuangkan oleh para penganutnya,
seperti komunisme dan demokrasi.
Secara substantif pengertian
etika politik tidak dapat dipisahkan dengan subjeksebagai pelaku etika yaitu
manusia. Oleh karena itu, etika politik berkaitan eratdengan bidang
pembahasan moral.hal ini berdasarkan kenyataan bahwa
pengertianmoral senantiasa menunjuk kepada manusia sebagai subjek etika. Maka
kewajibanmoral dibedakan dengan pengertian kewajiban-kewajiban lainnya, karena
yangdimaksud adalah kewajiban manusia sebagai manusia, walaupun dalam
hubungannyadengan masyarakat, bangsa maupun negara etika politik tetap meletakkan
dasarfundamental manusia sebagai manusia. Dasar ini lebih meneguhkan akar etika
politikbahwa kebaikan senantiasa didasarkan kepada hakikat manusia sebagai
makhluk yangberadab dan berbudaya berdasarkan suatu kenyataan bahwa masyarakat,
bangsamaupun negara bisa berkembang ke arah keadaan yang tidak baik dalam arti
moral.
Tujuan etika politik adalah mengarahkan kehidupan politik yang
lebih baik, baik bersama dan untuk orang lain, dalam rangka membangun
institusi-institusi politik yang adil. Etika politik membantu untuk menganalisa
korelasi antara tindakan individual, tindakan kolektif, dan struktur-struktur
politik yang ada. Penekanan adanya korelasi ini menghindarkan pemahaman etika
politik yang diredusir menjadi hanya sekadar etika individual perilaku individu
dalam bernegara. Nilai-nilai Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik. Dalam
pelaksanaan dan penyelenggaraan Negara, etika politik menuntut agar kekuasaan
dalam Negara dijalankan sesuai dengan:
1.
Legitimasi hukum
2.
Legitimasi demokratis
3.
Legitimasi moral
3.
Pancasila Sebagai Sistem Etika
Nilai, norma, dan moral adalah konsep-konsep yang saling
berkaitan. Dalam hubungannya dengan Pancasila, maka ketiganya akan memberikan
suatu pemahaman yang saling melengkapi sebagai sistem etika.
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat pada hakikatnya
merupakan suatu nilai yang menjadi sumber dari segala penjabaran norma baik
norma hukum, norma moral maupun norma kenegaraan lainnya. Disamping ituh,
terkandung juga pemikiran-pemikiran yang bersifat kritis, mendasar, rasional,
sistematis, dan komprehensif. Oleh karena itu, suatu pemikiran filsafat adalah
suatu nilai-nilai yang bersifat mendasar yang memberikan landasan bagi manusia
dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Nilai-nilai tersebut
dijabarkan dalam kehidupan nyata dalam masyarakat,bangsa, dan negara maka
diwujudkan dalam norma-noorma yang kemudian menjadi pedoman. Norma-norma itu
meliputi:
1. Norma Moral
yang berkaitan dengan tingkah laku manusia yang dapat diukur
dari sudut pandang baik maupun buruk, sopan maupun tidak sopan, susila atau
tidak susila.
2. Norma Hukum
Suatu sistem peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam
suatu tempat dan waktu tertentu dalam pengertian ini peratran hukum. Dalam
pengertian itulah Pancasila berkedudukan sebagai sumber dari segala sumber
hukum.
Dengan demiian, pacasila pada hakikatnya bukan meruakan suatu
pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun praktsis melainkan suatu sistem
nilai-nilai etika merupakan sumber norma.
4.
Pengertian Nilai, Moral dan Norma
Pengertian Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada
pada suatu benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang
menyebabkan menarik minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada
hakikatnya adalah sifat dan kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan
demikian, maka nilai itu adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik
kenyataan-kenyataan lainnya. Menilai berarti menimbang, suatu kegiatan manusia
untuk menghubungkan sesuatu dengan sesuatu yang lain kemudian untuk selanjutnya
diambil keputusan. Keputusan itu adalah suatu nilai yang dapat menyatakan
berguna atau tidak berguna, benar atau tidak benar, baik atau tidak baik, dan
seterusnya. Penilaian itu pastilah berhubungan dengan unsur indrawi manusia
sebagai subjek penilai, yaitu unsur jasmani, rohani, akal, rasa, karsa dan
kepercayaan. Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya bathin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alportmengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat
dalam kehidupan masyarakat pada enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi,
nilai estetika, nilai sosial, nilai politik dan nilai religi.
Hierarkhi Nilai sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu – masyarakat terhadap
sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi
adalah nilai meterial.Max Scheler menyatakan bahwa
nilai-nilai yang ada tidak sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai –
nilai dapat dikelompokan dalam empat tingkatan yaitu :
1.
nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan indra
yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak,
2.
nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi kehidupan yakni :
jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum,
3.
nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan dengan
kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni,
4.
nilai kerohanian yaitu tingkatan ini terdapatlah modalitas nilai
dari yang suci.
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1.
nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna bagi jasmani
manusia,
2.
nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna bagi manusia untuk
mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan,
3.
nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang bersifat rokhani
manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
4.
a. nilai kebenaran yaitu nilai
yang bersumber pada rasio, budi, akal atau cipta manusia.
5.
nilai keindahan/estetis yaitu
nilai yang bersumber pada perasaan manusia
6.
nilai kebaikan atau nilai moral yaitu
nilai yang bersumber pada unsur kehendak manusia
7.
nilai religius yaitu
nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak Dalam pelaksanaanya,
nilai-nilai dijabarkan dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga
merupakan suatu keharusan anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau
tercela. Oleh karena itu, nilai berperan sebagai pedoman yang menentukan
kehidupan setiap manusia. Nilai manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan
pikiran sebagai suatu keyakinan dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai
sistem nilai.
Pengertian Moral berasal
dari kata mos (mores) yang sinonim dengan
kesusilaan, tabiat atau kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan
buruk, yang menyangkut tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang pribadi yang
taat kepada aturan-aturan, kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam
masyarakatnya, dianggap sesuai dan bertindak benar secara moral. Jika
sebaliknya yang terjadi maka pribadi itu dianggap tidak bermoral. Moral dalam
perwujudannya dapat berupa peraturan dan atau prinsipprinsip yang benar, baik
terpuji dan mulia. Moral dapat berupa kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan
norma yang mengikat kehidupan masyarakat, bangsa dan negara.
Pengertian Norma Kesadaran manusia yang membutuhkan hubungan
yang ideal akan menumbuhkan kepatuhan terhadap suatu peraturan atau norma.
Hubungan ideal yang seimbang, serasi dan selaras itu tercermin secara vertikal
(Tuhan), horizontal (masyarakat) dan alamiah (alam sekitarnya) Norma adalah
perwujudan martabat manusia sebagai mahluk budaya, sosial, moral dan religi.
Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata
nilai untuk dipatuhi. Oleh karena itu, norma dalam perwujudannya dapat berupa
norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum dan norma sosial.
Norma memiliki kekuatan untuk dipatuhi karena adanya sanksi.
Nilai Dasar Sekalipun
nilai bersifat abstrak yang tidak dapat diamati melalui panca indra manusia,
tetapi dalam kenyataannya nilai berhubungan dengan tingkah laku atau berbagai
aspek kehidupan manusia dalam prakteknya. Setiap nilai memiliki nilai dasar
yaitu berupa hakikat, esensi, intisari atau makna yang dalam dari nilai-nilai
tersebut. Nilai dasar itu bersifat universal karena menyangkut kenyataan
obyektif dari segala sesuatu. Contohnya : hakikat Tuhan, manusia, atau mahluk
lainnya. Apabila nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat Tuhan maka nilai
dasar itu bersifat mutlak karena Tuhan adalah kausa prima (penyebab
pertama). Segala sesuatu yang diciptakan berasal dari kehendak Tuhan. Bila
nilai dasar itu berkaitan dengan hakikat manusia maka nilai-nilai itu harus
bersumber pada hakikat kemanusiaan yang dijabarkan dalam norma hukum yang
diistilahkan dengan hak dasar (hak asasi manusia). Apabila nilai dasar itu
berdasarkan kepada hakikat suatu benda (kuantitas, aksi, ruang dan waktu) maka
nilai dasar itu dapat juga disebut sebagai norma yang direalisasikan dalam
kehidupan yang praksis, namun nilai yang bersumber dari kebendaan tidak boleh
bertentangan dengan nilai dasar yang merupakan sumber penjabaran norma itu.
Nilai dasar yang menjadi sumber etika bagi bangsa Indonesia adalah nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila.
Nilai instrumental adalah nilai yang menjadi pedoman pelaksanaan
dari
nilai dasar. Nilai dasar belum dapat bermakna sepenuhnya apabila
belum memiliki formulasi serta parameter atau ukuran yang jelas dan konkrit.
Apabila nilai instrumental itu berkaitan dengan tingkah laku manusia dalam
kehidupan sehari-hari maka nilai itu akan menjadi norma moral. Namun jika nilai
instrumental itu berkaitan dengan suatu organisasi atau negara, maka nilai
instrumental itu merupakan suatu arahan, kebijakan, atau strategi yang
bersumber pada nilai dasar sehingga dapat juga dikatakan bahwa nilai
instrumental itu merupakan suatu eksplisitasi dari nilai dasar. Dalam kehidupan
ketatanegaraan Republik Indonesia, nilai-nilai instrumental dapat ditemukan
dalam pasal-pasal undang-undang dasar yang merupakan penjabaran Pancasila.
Nilai praksis merupakan penjabaran lebih lanjut dari nilai
instrumental dalam kehidupan yang lebih nyata dengan demikian nilai praksis
merupakan pelaksanaan secara nyata dari nilai-nilai dasar dan nilai-nilai
instrumental. Oleh karena itu, nilai praksis dijiwai kedua nilai tersebut
diatas dan tidak bertentangan dengannya. Undang-undang organik adalah wujud
dari nilai praksis, dengan kata lain, semua perundang-undangan yang berada di
bawah UUD sampai kepada peraturan pelaksana yang dibuat oleh pemerintah.
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan suatu kenyataan
yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada hidup dan kehidupan
manusia. Keterkaitan itu mutlak digarisbawahi bila seorang individu,
masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh dan
berkembang Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan berguna menuntun sikap
dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan diformulakan menjadi lebih
obyektif sehingga memudahkan manusia untuk menjabarkannya dalam aktivitas
sehari hari. Dalam kaitannya dengan moral maka aktivitas turunan dari nilai dan
norma akan memperoleh integritas dan martabat manusia. Derajat kepribadian itu
amat ditentukan oleh moralitas yang mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara
moral dan etika kadang-kadang atau seringkali disejajarkan arti dan maknanya.
Namun demikian, etika dalam pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang
boleh dan tidak boleh dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di
tangan pihak yang memberikan ajaran moral.
5.
Hubungan Nilai, Norma, Dan Moral
Sebagaimana telah dijelaskan bahwa nilai adalah kualitas dari
sesuatu yang bermanfaat bagi kehidupan manusia, baik lahir maupun bathin. Dalam
kehidupan manusia nilai dijadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam
bersikap dan bertingkah laku baik disadari maupun tidak.
Nilai berbeda dengan fakta di mana fakta dapat diobservasi
melalui suatu verifikasi empiris, sedangkan nilai bersifat abstrak yang hanya
dapat dipahami, dipikirkan, dimengerti, dan dihayati oleh manusia. Nilai dengan
demikian tidak bersifat kongkret yaitu tidak dapat ditangkap dengan indra
manusia, dan nilai dapat bersifat subjektif maupun objektif. Bersifat subjektif
manakala nilai tersebut diberikan oleh subjek dan bersifat objektif jikalau
nilai tersebut telah melekat pada sesuatu, terlepas dari penilaian manusia.
Agar nilai tersebut menjadi lebih berguna dalam menuntun sikap
dan tingkah laku manusia, maka perlu lebih dikongkritkan lagi serta
diformulasikan menjadi lebih objektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam tingkah laku secara kongkrit. Maka wujud yang lebih
kongkrit dari nilai tersebut adalah merupakan suatu norma.Selanjutnya, nilai
dan norma senantiasa berkaitan dengan moral dan etika. Istilah moral mengandung
integritas dan martabat pribadi manusia. Derajat kepribadian seseorang
amat ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya. Makna moral yang terkandung
dalam kepribadian seseorang itu tercermin dari sikap dan tingkah lakunya. Dalam
pengertian inilah maka kita memasuki wilayah norma sebagai penuntun sikap dan
tingkah laku manusia.
2.1.1 Pengertian Nilai
Nilai (value) adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik
minat seseorang atau kelompok. Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat dan
kualitas yang melekat pada suatu obyeknya. Dengan demikian,maka nilai itu
adalah suatu kenyataan yang tersembunyi dibalik kenyataan-kenyataan lainnya.
Nilai atau “value” (bahas Inggris) termasuk bidang kajian filsafat,
persoalan-persoalan tentang nilai dibahas dan dipelajari salah satu cabang
filsafat yaitu filsafat nilai (Axiology, theory of value). Filsafat sering juga
diartikan sebagai ilmu tentang nilai-nilai. Istilah nilai di dalam bidang
filsafat dipakai untuk menunjuk kata benda abstrak yang artinya “kebiasaan”
(wath) atau kebaikan (goodness) dan kata kerja yang artinya suatu tindakan kejiwaan
tentu dalam menilai atau melakukan penilaian (Frankena, 229)
Nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna, indah, memperkaya batin
dan menyadarkan manusia akan harkat, martabatnya. Nilai bersumber pada budi
yang berfungsi mendorong dan mengarahkan sikap dan perilaku manusia.
Nilai sebagai suatu sistem (sistem nilai) merupakan salah satu wujud
kebudayaan, disamping sistem sosial dan karya. Cita-cita, gagasan, konsep dan
ide tentang sesuatu adalah wujud kebudayaan sebagai sistem nilai. Nilai sosial
berorientasi kepada hubungan antarmanusia dan menekankan pada segi-segi
kemanusiaan yang luhur, sedangkan nilai politik berpusat pada kekuasaan serta
pengaruh yang terdapat dalam kehidupan masyarakat maupun politik.
Dengan demikian, nilai adalah sesuatu yang berharga, berguna,
memperkaya batin dan menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Nilai
bersumber pada budi yang berfungsi mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap
dan perilaku manusia. Nilai sebagai suatu sistem merupakan salah satu wujud
kebudayaan di samping sistem sosial dan karya. Oleh karena itu, Alport
mengidentifikasikan nilai-nilai yang terdapat dalam kehidupan masyarakat pada
enam macam, yaitu : nilai teori, nilai ekonomi, nilai estetika, nilai sosial,
nilai politik dan nilai religi.
Di dalam Dictionary of sosiology and Related Sciences dikemukakan bahwa
nilai adalah kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk
memuaskan manusia. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat
seseorang atau kelompok, ( the believed capacity of any object to statistfy a
human desire). Jadi nilai itu pada hakikatnya adalah sifat atau kualitas yang
melekat pada suatu objek itu sendiri.Di dalam nilai itu sendiri terkandung cita
– cita, harapan – harapan, dambaan – dambaan dan keharusan.
2.1.2 Pengertian Norma
Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dijalankan dalam
kehidupan sehari-hari berdasarkan motivasi tertentu. Norma sesungguhnya
perwujudkan martabat manusia sebagai makhluk budaya, sosial, moral dan religi.
Norma merupakan suatu kesadaran dan sikap luhur yang dikehendaki oleh tata
nilai untuk dipatuhi. Oleh sebab itu, norma dalam perwujudannya dapat
berupa norma agama, norma filsafat, norma kesusilaan, norma hukum, dan norma
sosial. Norma memiliki kekuatan untuk dapat dipatuhi, yang dikenal dengan
sanksi, misalnya:
a. Norma agama, dengan sanksinya dari Tuhan
b. Norma kesusilaan, dengan sanksinya rasa malu dan
menyesal terhadap diri sendiri.
c. Norma kesopanan, dengan sanksinya berupa
mengucilkan dalam pergaulan masyarakat.
d. Norma hukum, dengan sanksinya berupa penjara
atau kurungan atau denda yang dipaksakan oleh alat Negara.
2.1.3 Pengertian Moral
Moral berasal dari kata mos (mores) yang artinya kesusilaan, tabiat,
kelakuan. Moral adalah ajaran tentang hal yang baik dan buruk, yang menyangkut
tingkah laku dan perbuatan manusia. Seorang yang taat kepada aturan-aturan,
kaidah-kaidah dan norma yang berlaku dalam masyarakatnya ,dianggap sesuai dan
bertindak benar secara moral. Jika sebaliknya terjadi, pribadi itu dianggap
tidak bermoral. Moral dalam perwujudannya dapat berupa peraturan,
prinsip-prinsip yang benar, baik, terpuji, dan mulia. Moral dapat berupa
kesetiaan, kepatuhan terhadap nilai dan norma, moral pun dapat dibedakan
seperti moral ketuhanan atau agama, moral, filsafat, moral etika, moral hukum,
moral ilmu, dan sebagainya. Nilai, norma dan moral secara bersama mengatur
kehidupan masyarakat dalam berbagai aspeknya.
2.2 Pengertian
Hierarkhi Nilai
Hierarkhi nilai sangat
tergantung pada titik tolak dan sudut pandang individu –masyarakat terhadap
sesuatu obyek. Misalnya kalangan materialis memandang bahwa nilai tertinggi
adalah nilai meterial. Max Scheler menyatakan bahwa nilai-nilai yang ada tidak
sama tingginya dan luhurnya. Menurutnya nilai-nilai dapat dikelompokan
dalam empat tingkatan yaitu :
1. Nilai kenikmatan adalah nilai-nilai yang
berkaitan dengan indra yang memunculkan rasa senang, menderita atau tidak enak.
2. Nilai kehidupan yaitu nilai-nilai penting bagi
kehidupan yakni jasmani, kesehatan serta kesejahteraan umum.
3. Nilai kejiwaan adalah nilai-nilai yang berkaitan
dengan kebenaran, keindahan dan pengetahuan murni.
4. Nilai kerohanian yaitu tingkatan ini
terdapatlah modalitas nilai dari yang suci.
Walter G . everet menggolongkan nilai – nilai manusiawi kedalam delapan
kelompok yaitu:
1. Nilai-nilai ekonomis
2. Nilai-nilai kejasmanian
3. Nilai-nilai hiburan
4. Nilai-nilai sosial
5. Nilai-nilai watak
6. Nilai-nilai estetis
7. Nilai-nilai intelektual
8. Nilai-nilai keagamaan
Sementara itu, Notonagoro membedakan menjadi tiga, yaitu :
1. Nilai material yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi jasmani manusia.
2. Nilai vital yaitu segala sesuatu yang berguna
bagi manusia untuk mengadakan suatu aktivitas atau kegiatan.
3. Nilai kerokhanian yaitu segala sesuatu yang
bersifat rokhani manusia yang dibedakan dalam empat tingkatan sebagai berikut :
a.
Nilai kebenaran yaitu nilai yang bersumber pada rasio, budi, akal atau
cipta manusia.
b.
Nilai keindahan/estetis yaitu nilai yang bersumber pada perasaan
manusia.
c.
Nilai kebaikan atau nilai moral yaitu nilai yang bersumber pada unsur
kehendak manusia.
d.
Nilai religius yaitu nilai kerokhanian tertinggi dan bersifat mutlak.
Dalam pelaksanaanya, nilai-nilai dijabarkan
dalam wujud norma, ukuran dan kriteria sehingga merupakan suatu keharusan
anjuran atau larangan, tidak dikehendaki atau tercela. Oleh karena itu, nilai
berperan sebagai pedoman yang menentukan kehidupan setiap manusia. Nilai
manusia berada dalam hati nurani, kata hati dan pikiran sebagai suatu keyakinan
dan kepercayaan yang bersumber pada berbagai sistem nilai.
Dari macam – macam nilai, dapat dikemukakan
bahwa yang mengandung nilai itu bukan hanya sesuatu yang bewujud material saja,
akan tetapi juga sesuatu yang berwujud non material atau immatrial. Notonagoro
berpendapat bahwa nilai – nilai pancasila tergolong nilai – nilai kerokhanian,
tetapi nilai – nilai kerohanian yang mengakui adanya nilai material dan vital.
Dengan demikian nilai – nilai lain secara lengkap dan harmonis, baik nilai
matrial, nilai vital, nilai kebenaran, nilai keindahan, nilai kebaikan atau
nilai moral, maupun nili kesucian yang sistematika-hierarkis, yang dimulai dari
sila Ketuhanan yang Maha Esa sebagai ‘dasar’ sampai dengan sila Keadilan Sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia sebagai ‘tujuan’.
Nilai Dasar, Nilai Instrumental, Nilai Praksis
Dalam kaitannya dengan deriviasi atau penjabaran
maka nilai-nilai dapat di kelompokan menjadi tiga macam yaitu nilai dasar,
nilai intrumental, nilai praksis.
A. Nilai Dasar
Nilai dasar ini besifat universal karena menyangkut hakikat kenyataan
objektif segala sesuatu misalkan hakikat Tuhan, manusia dengan segala sesuatu
lainnya. Demikian juga hakekat nilai dasar itu dapat juga berlandaskan pada
hakikat suatu benda , kuantital, kualitas, aksi relasi ruang maupun waktu.
Demikianlah sehingga nilai dasar dapat juga di sebut sebagai sumber norma yang
pada gilirannya di jabarkan atau di relisasikan dalam suatu kehidupan yang
bersifat praksis.
B. Nilai Intrumental
Nilai intrumental yang merupakan suatu pedoman yang dapat di ukur dan
di arahkan. Bilamana nilai intrumental tersebut berkaitan dengan tingkah laku
manusia dalam kehidupan sehari-hari maka hal ini merupakan suatu nilai norma.
Dan nilai intrumental sendiri juga dapat di katakan bahwa nilai intrumental itu
merupakan suatu eksplistasi dari nilai dasar.
C. Nilai Praksis
Nilai praksis pada hakekatnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari
nilai intrumental dalam suatu kehidupan yang nyata. Artinya oleh karna nilai
dasar, nilai intrumental dan nilai praksis itu merupakan suatu sistem
perwujutannya tidak boleh menyimpang dari sistem tersebut.
2.3 Hubungan
antara Nilai, Norma dan Moral
Keterkaitan nilai, norma dan moral merupakan
suatu kenyataan yang seharusnya tetap terpelihara di setiap waktu pada
hidup dan kehidupan manusia. Keterkaitan itu mutlak digaris bawahi bila seorang
individu, masyarakat, bangsa dan negara menghendaki fondasi yang kuat tumbuh
dan berkembang.
Sebagaimana tersebut di atas maka nilai akan
berguna menuntun sikap dan tingkah laku manusia bila dikongkritkan dan
diformulakan menjadi lebih obyektif sehingga memudahkan manusia untuk
menjabarkannya dalam aktivitas sehari-hari. Dalam kaitannya dengan moral maka
aktivitas turunan dari nilai dan norma akan memperoleh integritas dan martabat
manusia. Derajat kepribadian itu amat ditentukan oleh moralitas yang
mengawalnya. Sementara itu, hubungan antara moral dan etika kadang-kadang atau
seringkali disejajarkan arti dan maknanya. Namun demikian, etika dalam
pengertiannya tidak berwenang menentukan apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan seseorang. Wewenang itu dipandang berada di tangan pihak yang
memberikan ajaran moral.
2.4 Pengertian
Etika
Etika termasuk kelompok filsafat praktis dan
dibagi menjadi dua kelompok yaitu etika umum dan etika khusus. Etika merupakan
suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-aaran dan
pandangan-pandangan moral. Etika adalah suatu ilmu yang membahasas tentang
bagaimana dan mengapa kita mengikuti suatu ajaran moral terntentu atau
bagaimana kita harus mengambil sikap yang bertanggung jawab berhadapan dengan
berbagai ajaran moral (Suseno, 1987).
Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip yang
berlaku bagi setiap tindakan manusia, sedangkan etika khusus membahas
prinsip-prinsip itu dalam hubungannya dengan berbagai kehidupan manusia
(Suseno, 1987). Etika khusus dibagi menjadi etika individual yang membahas
kewajiban manusia terhadap diri sendir dan etika sosial merupakan kewajiban
manusia terhadap manusia lain dalam hidup bermasyarakat, yang merupakan suatu
bagian terbesar dari etika khusus.
2.5 Pengertian
Politik
Pengertian politik berasal dari kata Politics
yang memiliki makna bermacam-macam kegiatan dalam suatu sistem politik atau
negara yang menyangkut proses tujuan penentuan-penentuan tujuan dari sistem itu
dan diikuti dengan pelaksanaan tujuan-tujuan itu. Pengambilan keputusan
mengenai apakah yang menjadi tujuan dari sistem politik itu yang menyangkut
seleksi antara beberapa alternatif dan penyusunan skala prioritas dari
tujuan-tujuan yang dipilih.
Untuk pelaksanaan tujuan-tujuan itu perlu
ditentukan kebijaksanaan-kebijaksanaan umum, yang menyangkut pengaturan dan
pembagian atau distributions dari sumber-sumber yang ada. Untuk melakukan
kebijaksanaan-kebijaksanaan itu diperlukan suartu kekuasaan, dan kewenangan
yang akan dipakai baik untuk membina kerjasama maupun menyelesaikan konflik
yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat
persuasi, dan jika perlu dilakukan suatu pemaksaan. Tanpa adanya suatu paksaan
kebijaksanaan ini hanya merupakan perumusan keinginan belaka (statement of
intents) yang tidak akan pernah terwujud. Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan
pribadi seseorang (privat goals). Selain itu politik menyangkut kegiatan
berbagai kelompok termasuk partai pplitik, lembaga masyarakat maupun
perseorangan.
2.6 Pengertian
Etika Politik
Sebagai salah satu cabang etika, khususnya etika
politik termasuk dalam lingkungan filsafat. Filsafat yang langsung
mempertanyakan praksis manusia adalah etika. Etika mempertanyakan tanggung jawab
dan kewajiban manusia. Ada bebagai bidang etika khusus, seperti etika individu,
etika sosial, etika keluarga, etika profesi, dan etika pendidikan.dalam hal ini
termasuk etika politik yang berkenaan dengan dimensi politis kehidupan manusia.
Etika berkaitan dengan norma moral, yaitu norma
untuk mengukur betul salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan
demikian, etika politik mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia
sebagai manusia dan bukan hanya sebagai warga Negara terhadap Negara, hukum
yang berlaku dan lain sebagainya.
Fungsi etika politik dalam masyarakat terbatas
pada penyediaan alat-alat teoritis untuk mempertanyakan serta menjelaskan
legitimasi politik secara bertanggung jawab. Jadi, tidak berdasarkan emosi,
prasangka dan apriori, melainkan secara rasional objektif dan argumentative.
Etika politik tidak langsung mencampuri politik praktis. Tugas etika politik
membantu agar pembahasan masalah-masalah idiologis dapat dijalankan secara
obyektif.
Hukum dan kekuasaan Negara merupakan pembahasan
utama etika politik. Hukum sebagai lembaga penata masyarakat yang normatif,
kekuasaan Negara sebagai lembaga penata masyarakat yang efektif sesuai dengan
struktur ganda kemampuan manusia (makhluk individu dan sosial). Jadi etika
politik membahas hukum dan kekuasaan. Prinsip-prinsip etika politik yang
menjadi titik acuan orientasi moral bagi suatu Negara adalah adanya cita-cita The
Rule Of Law, partisipasi demokratis masyarakat, jaminan ham menurut
kekhasan paham kemanusiaan dan sturktur kebudayaan masyarakat masing-masing dan
keadaan sosial.
2.7 Lima
Prinsip Dasar Etika Politik Pancasila
Pancasila sebagai etika politik maka mempunyai
lima prinsip itu berikut ini disusun menurut pengelompokan Pancasila, karena
Pancasila memiliki logika internal yang sesuai dengan tuntutan-tuntutan dasar
etika politik modern.
1. Pluralisme
Pluralisme adalah kesediaan untuk menerima
pluralitas, artinya untuk hidup dengan positif, damai, toleran, dan
biasa/normal bersama warga masyarakat yang berbeda pandangan hidup, agama,
budaya, adat. Pluralisme mengimplikasikan pengakuan terhadap kebebasan
beragama, kebebasan berpikir, kebebasan mencari informasi, toleransi.
Pluralisme memerlukan kematangan kepribadian seseorang dan sekelompok orang.
2. Hak Asasi Manusia
Jaminan hak-hak asasi manusia adalah bukti Kemanusian yang adil dan
beradab. Karena hak-hak asasi manusia menyatakan bagaimana manusia wajib
diperlakukan dan wajib tidak diperlakukan. Jadi bagaimana manusia harus
diperlakukan agar sesuai dengan martabatnya sebagai manusia. Karena itu,
hak-hak asasi manusia adalah baik mutlak maupun kontekstual dalam pengertian
sebagai berikut.
a. Mutlak karena manusia
memilikinya bukan karena pemberian Negara, masyarakat, melainkan karena
pemberian Sang Pencipta .
b. Kontekstual karena baru
mempunyai fungsi dan karena itu mulai disadari, diambang modernitas di mana
manusia tidak lagi dilindungi oleh adat/tradisi, dan seblaiknya diancam oleh
Negara modern.
3. Solidaritas Bangsa
Solidaritas bermakna manusia tidak hanya hidup
demi diri sendiri, melainkan juga demi orang lain, bahwa kita bersatu senasib
sepenanggungan. Manusia hanya hidup menurut harkatnya apabila tidak hanya bagi
dirinya sendiri, melainkan menyumbang sesuatu pada hidup manusia-manusia lain.
Sosialitas manusia berkembang secara melingkar yaitu keluarga, kampung,
kelompok etnis, kelompok agama, kebangsaan, solidaritas sebagai manusia.
Maka di sini termasuk rasa kebangsaan. Manusia menjadi seimbang apabila
semua lingkaran kesosialan itu dihayati dalam kaitan dan keterbatasan
masing-masing.
4. Demokrasi
Prinsip “kedaulatan rakyat” menyatakan bahwa tak
ada manusia atau sebuah elit atau sekelompok ideologi berhak untuk menentukan
dan memaksakan orang lain harus atau boleh hidup. Demokrasi berdasarkan
kesadaran bahwa mereka yang dipimpin berhak menentukan siapa yang memimpin
mereka dan kemana mereka mau dipimpin. Jadi demokrasi memerlukan sebuah system
penerjemah kehendak masyarakat ke dalam tindakan politik.
Demokrasi hanya dapat berjalan baik atas dua dasar yaitu :
- Pengakuan dan jaminan terhadap HAM;
perlindungan terhadap HAM menjadi prinsip mayoritas tidak menjadi
kediktatoran mayoritas.
- Kekuasaan dijalankan atas dasar, dan dalam
ketaatan terhadap hukum (Negara hukum demokratis). Maka kepastian hukum
merupakan unsur harkiki dalam demokrasi (karena mencegah pemerintah yang
sewenang-wenang).
5. Keadilan Sosial
Keadilan merupakan norma moral paling dasar
dalam kehidupan masyarakat. Moralitas masyarakat mulai dengan penolakan
terhadap ketidakadilan. Tuntutan keadilan sosial tidak boleh dipahami secara
ideologis, sebagai pelaksanaan ide-ide, ideologi-ideologi, agama-agama
tertentu, keadilan sosial tidak sama dengan sosialisme. Keadilan sosial adalah
keadilan yang terlaksana. Dalam kenyataan, keadilan sosial diusahakan dengan
membongkar ketidakadilan-ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Ketidakadilan
adalah diskriminasi di semua bidang terhadap perempuan, semua diskriminasi atas
dasar ras, suku dan budaya.
Untuk itu tantangan etika politik paling serius di Indonesia sekarang
adalah:
- Kemiskinan, ketidakpedulian dan kekerasan
sosial.
- Ekstremisme ideologis yang anti pluralism,
pertama-tama ekstremisme agama dimana mereka yang merasa tahu kehendak
Tuhan merasa berhak juga memaksakan pendapat mereka pada masyarakat.
- Korupsi
2.8 Dimensi
Politisi Manusia
A. Manusia sebagai Makhluk Individu – Sosial
Paham individualisme yang merupakan cikal bakal
paham liberalisme, memandan manusia sebagai makhluk individu yang bebas. Segala
hak dan kewajiban dalam kehidupan bersama senantiasa diukur berdasarkan
kepentingan dan tujuan berdasarkan paradigma sifat kodrat manusia sebagai
individu. Kalangan kolektivisme merupakan cikal bakal sosialisme dan komunisme
memandang sifat kodrat manusia sebagai makhluk sosial saja. Manusia di pandang
sebagai sekedar sarana bagi masyarakat. Segala hak dan kewajiban baik moral
maupun hukum, dalam hubungan masyarakat, bangsa dan negara senantiasa diukur
berdasarkan filosofi manusia sebagai makhluk sosial.
Manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
kebebasan sebagai individu dan segala aktivitas dan kreativitas dalam hidupnya
senantiasa tergantung pada orang lain, hal ini di karenakan manusia sebagai
warga masyrakat atau sebagai makhluk sosial. Manusia di dalam hidupnya mampu
bereksistensi karena orang lain dan ia hanya dapat hidup dan berkembang karena
dalam hubungannya dengan orang lain. Segala keterampilan yang dibutuhkannya
agar berhasil dalam segala kehidupannya serta berpartisipasi dalam kebudayaan
diperolehnya dari masyarakat.
Dasar filosofis sebagai mana terkandung dalam Pancasila
yang nilainya terdapat dalam budaya bangsa, senantiasa mendasarkan hakikat
sifat kodrat manusia adalah bersifat ‘monodualis’. Maka sifat serta ciri khas
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia, bukanlah totalitas individualistis ataupun
sosialistis melainkan monodualistis.
B. Dimensi Politis Kehidupan Manusia
Berdasarkan sifat kodrat manusia sebagai makhluk
individu dan sosial, dimensi politis mencakup lingkaran kelembagan hukum dan
negara, sistem – sitem nilai serta ideologi yang memberikan legitmimasi
kepadanya. Dalam hubungan dengan sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu
dan sosial, dimensi politis manusia senntiasa berkaitan dengan kehidupan negara
dan hukum, sehingga senantiasa berkaitn dengan kehidupan masyrakat secara
keseluruhan. Sebuah keputusan bersifat politis manakala diambil dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dengan demikian
dimensi politis manusia dapat ditentukan sebagai suatu kesadaran manusia akan
dirinya sendiri sebagai anggota masyarakat sebagai sutu keseluruhan yang
menentukan kerangka kehidupannya dan di tentukan kembali oleh kerangka
kehidupannya serta ditentukan kembali oleh tindakan – tindakannya.
Dimensi politis manusia ini memiliki dua segi
fundmental, yaitu pengertian dan kehendak untuk bertindak. Sehingga dua segi
fundamental itu dapat diamati dalam setiap aspek kehidupan manusia. Dua aspek
ini yang senantiasa berhadapan dengan tindakkan moral manusia.
2.9 Nilai-nilai
Terkandung Dalam Pancasila Sebagai Sumber Etika Politik
Sila pertama ‘Ketuhanan yang Maha Esa’ serta
sila kedua ‘ Kemanusiaan yang Adil dan Beradab’ adalah merupakan sumber nilai
–nilai moral bagi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negeri di jalankan sesuai dengan:
a) Asas legalitas ( legitimasi hukum).
b) Di sahkan dan dijalankan secara demokratis (
legitimasi demokratis)
c) Dilaksanakan berdasarkan prinsip – prinsip moral
/ tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
Pancasila sebagai suatu sistem filsafat memiliki
tiga dasar tersebut. Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara, baik
menyangkut kekuasan, kenijaksanan yang menyangkut publik, pembagian serta
kewenangan harus berdasarka legitimasi moral religius ( sila 1 ) serta moral
kemanusiaan ( sila 2). Negara Indonesia adalah negara hukum, oleh krena itu ‘
keadilan’ dalam hidup bersama ( keadilan sosial ) sebgai mana terkandung dalam
sila 5, adalah merupakan tujuan dalam kehidupan negara. Oleh karena itu dalam
pelaksanaan dan pnyelenggraan negara, segala kebijakan, kekuasaan, kewenangan,
serta pembagian senantiasa harus berdasarkan atas hukum yang berlaku.
Negara adalah berasal dari rakyat dan segala
kebijaksanaan dan kekuasaan yang dilakukan senantiasa untuk rakyat ( sila 4).
Oleh karena itu rakyat adalah merupakan asal mula kekuasan negara. Oleh karena
itu pelaksanaan dan pnyelenggraan negara segala kebijaksanaan, kekuasaan, serta
kewenangan harus dikembalikan pada rakyat sebagai pendukung pokok Negara.
BAB
III
KESIMPULAN
A.
Kesimpulan
Jadi sila-sila Pancasila pada hakikatnya
bukanlah merupakan suatu pedoman yang langsung bersifat normatif ataupun
praksis melainkan merupakan suatu sistem nilai-nilai etika yang merupakan
sumber norma baik maupun norma moral maupun norma hukum, yang pada gilirannya
harus dijabarkan lebih lanjut dalam norma-norma etika, moral maupun hukum dalam
kehidupan kenegaraan maupun kebangsaan.
Dalam pelaksanaan dan penyelenggaraan negara,
etika politik menuntut agar kekuasaan dalam negara dijalankan sesuai dengan (1)
asas legalitas (legitimasi hukum), yaitu dijalankan sesuai dengan hukum yang
berlaku, (2) disahkan dang dijalankan secara demokratis (legatimasi
demokratis), dan (3) dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip moral atau
tidak bertentangan dengannya (legitimasi moral).
B. Saran
Saya sebagai pemuat makalah ini menyadari banyak
terdapat kekeliliruan dalam penulisan makalah ini, maka penulis mengharapkan
masukan dan kritikan yang membangun dari para pembaca makalah yang saya buat
ini ,ini juga demi kesempurnaan makalah ini . atas masukan dankritikan dan
sarannya saya mengucapkan terima kasih.
B. DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Kaelan, M.S, 2010, Pendidikan Pancasila, penerbit
Paradigma, Yogyakarta.
0 komentar